Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Krisis Iklim dan Efek Katak dalam Air Mendidih: Mengapa Kita Terlalu Nyaman untuk Peduli?

20 Agustus 2025   21:58 Diperbarui: 20 Agustus 2025   21:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dibuat menggunakan Gemini AI)

Hampir semua orang tahu kisah klasik ini.

Seekor katak duduk di dalam panci berisi air hangat. Api di bawahnya menyala perlahan, tidak terasa mengancam, jadi si katak tetap di sana. Suhu air meningkat sedikit demi sedikit, nyaris tak terasa. Katak itu menyesuaikan diri, hingga akhirnya tak sanggup melompat keluar. Terlambat sudah. Ia mati dalam air mendidih.

Katak itu adalah kita.

Bedanya, panci berisi air itu adalah bumi kita sendiri --- yang kini "mendidih" lewat gelombang panas, kebakaran hutan, banjir bandang, hingga kenaikan permukaan laut. Namun kita tetap saja asyik berselancar di media sosial, membandingkan merek skincare, atau sekadar berharap bulan depan cuacanya lebih adem.

Selamat datang di era apatis iklim. Kesadaran tinggi, tapi rasa urgensi rendah. Bukan karena manusia tidak peduli. Melainkan karena kita sudah terlalu lama hidup dalam kehancuran yang merayap perlahan, sampai-sampai semuanya terasa... biasa.

Tanda-Tanda Terbakar, Tapi Kita Sudah Berdamai dengan Asap

Juli 2025, Delhi mencatat suhu wet-bulb tertinggi dalam beberapa dekade. Bagi yang belum akrab, wet-bulb bukan istilah ilmiah rumit. Pengertiannya adalah ambang batas kemampuan tubuh manusia bertahan hidup. Pada kombinasi panas dan kelembapan tertentu, tubuh tidak bisa lagi mendinginkan diri lewat keringat. Terjemahan sederhananya: tubuh manusia akan kolaps, bahkan jika duduk diam di tempat teduh.

Namun bagaimana berita ini ditanggapi? Sekadar jadi tajuk utama sehari, lalu hilang. Tenggelam dalam arus gosip selebriti dan tren joget TikTok.

Krisis iklim bukan cerita jauh di luar negeri. Ia sudah hadir di depan mata kita, di tanah air sendiri.

Banjir Jakarta terjadi nyaris setiap tahun. Bahkan daerah-daerah baru yang dulunya aman kini mulai terendam. Tetapi warga sudah menganggapnya rutinitas: "memang begini kalau musim hujan."

Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatra kembali terjadi setiap musim kemarau panjang. Asap pekat menutup langit, mengganggu pernapasan anak-anak hingga sekolah harus diliburkan. Kita marah sebentar, lalu lupa.

Krisis air bersih mulai terasa di banyak daerah, dari Nusa Tenggara hingga Jawa bagian utara. Sumur-sumur kering, waduk menyusut, tapi kita masih berpikir itu sekadar siklus alam.

Gelombang panas perlahan jadi kenyataan. Suhu 35--38 derajat bukan lagi hal langka di kota-kota besar. Pendingin ruangan menjadi penyelamat kelas menengah, tapi bagi yang miskin? Mereka hanya bisa menahan gerah.

Semua ini merupakan tanda-tanda air memanas. Namun, alih-alih panik, kita justru sudah berdamai dengan asap, banjir, dan panas. Seolah itu memang bagian tak terhindarkan dari hidup.

Inilah masalahnya: bencana iklim datang setetes demi setetes. Kebakaran hutan di satu tempat, banjir bandang di tempat lain, kekeringan di wilayah berbeda. Semua tampak terpisah, seakan bisa ditangani masing-masing. Kita gagal melihat bahwa titik-titik itu saling terhubung. Dan ketika sadar, air sudah mendidih.

Psikolog menyebutnya normalcy bias yaitu kecenderungan manusia meremehkan kemungkinan dan dampak bencana hanya karena belum pernah mengalaminya secara penuh. Tambahkan distraksi era digital (notifikasi, hiburan instan, banjir informasi) maka terbentuklah resep sempurna untuk apatisme iklim.

Kita tahu bumi memanas. Tapi karena perubahan terasa bertahap, kita beradaptasi. Memasang pendingin ruangan, membeli alat penjernih udara, menimbun air minum kemasan, pindah ke lokasi lebih tinggi ketika banjir datang. Semua itu terlihat seperti ketahanan. Padahal, sebenarnya, itu adalah bentuk penyerahan diri.

Katak menyesuaikan diri sampai tak bisa lagi melompat. Kita pun begitu.

Melompat Keluar dari Panci

Namun ada satu hal yang tidak dimiliki si katak: kemampuan untuk *tahu lebih dulu*. Kita punya sains, pengetahuan, dan kekuatan kolektif. Pertanyaannya, apakah kita mau menggunakannya?

Itu berarti lebih dari sekadar membagikan infografis di Instagram. Kita butuh dorongan perubahan sistem: transisi energi terbarukan, tata kota yang siap menghadapi banjir dan gelombang panas, aturan yang mengekang polusi, serta redefinisi tentang apa itu "kemajuan."

Pada tingkat individu, artinya jangan kebas. Jangan terbiasa dengan kabar bencana. Biarkan rasa tidak nyaman itu mendorong kita bertindak, bukan malah membius kita.

Kisah katak berakhir dengan kematian. Tapi kisah manusia tidak harus demikian. Air memang sudah panas, tetapi panci belum tertutup.

Pilihan kita sederhana namun tegas: terus beradaptasi sampai kehancuran terasa "normal," atau melompat sekarang, menuju masa depan yang lebih layak huni dan lebih berkelanjutan.

Katak tidak akan pernah tahu pilihan terbaik. Tapi kita tahu betul itu.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita akan bertindak sebelum terlambat?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun