Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

4 Alasan Putin Dinilai Ungguli Trump di Alaska

19 Agustus 2025   19:36 Diperbarui: 19 Agustus 2025   21:02 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden AS Donald Trump menyambut Presiden Rusia Vladimir Putin di Alaska pada 15 Agustus 2025. (Foto: Kompas.id)

Pada hari Jumat (15/8) Donald Trump dan Vladimir Putin bertemu di Alaska. Semua mata tertuju pada hasil KTT tersebut. Setelah tiga jam pembicaraan, pertanyaan yang muncul: siapa yang menang?

Jawaban singkatnya: Vladimir Putin. Namun, hal itu baru jelas terlihat setelah akhir pekan. Pada Jumat, kesannya seolah-olah dialog mereka tidak menghasilkan apa pun. Tetapi dua hari kemudian, dengan munculnya lebih banyak pernyataan, termasuk dari Trump di Truth Social, pemenangnya menjadi jelas: Putin.

Ada empat alasan utama mengapa Putin unggul.

1. Pencitraan di Alaska

Trump menyambut Putin dengan karpet merah di Alaska. Jabat tangan hangat dan penyambutan bak seorang sekutu---sesuatu yang mustahil terjadi setahun lalu. Amerika selama tiga tahun berusaha mengisolasi Putin, bahkan mendorong surat perintah penangkapan terhadapnya. Kini, presiden Rusia justru disambut layaknya seorang sahabat.

2. Trump Menjebak Dirinya Sendiri

Strategi awal Trump sebenarnya tepat: mengecilkan ekspektasi. Gedung Putih menyebut pertemuan ini sekadar "listening exercise". Dengan begitu, jika tidak ada hasil, tidak ada yang perlu dipersoalkan.

Namun, dua hari sebelum KTT, Trump mengubah nada. Ia mengancam akan memberikan sanksi dan tarif berat terhadap Rusia bila Putin tidak menyetujui gencatan senjata.

Hasilnya? Tidak ada gencatan senjata di Alaska. Yang lebih parah, Trump membatalkan pernyataannya sendiri. Pada Sabtu, ia berkata:

"Semua pihak sepakat bahwa cara terbaik untuk mengakhiri perang adalah dengan langsung mencapai kesepakatan damai, bukan sekadar gencatan senjata yang sering kali tidak dapat dipertahankan."

Ini merupakan pengakuan terhadap posisi Rusia, karena sejak awal Moskow lebih menginginkan peace deal permanen daripada sekadar gencatan senjata.

3. Pembatalan Sanksi

Tuntutan Rusia konsisten sejak awal: tidak ada keanggotaan NATO untuk Ukraina, pembatasan militer Ukraina, dan pengakuan atas wilayah yang kini dikuasai Moskow. Putin tidak goyah sedikit pun.

Sebaliknya, ia justru memperoleh keuntungan. Pertama, ancaman sanksi baru dari Trump dibatalkan. Kedua, muncul kemajuan bilateral di luar agenda utama---mulai dari kerja sama luar angkasa hingga teknologi.

4. Perubahan Sikap Trump Pasca-KTT Alaska

Sebelum pertemuan, Trump berusaha menekan Putin agar menghentikan perang. Setelahnya, ia justru mengakui tidak ada kesepakatan. Pernyataannya di Alaska:

"Ada beberapa poin yang kami sepakati, tapi tidak ada kesepakatan penuh. Saya akan menghubungi NATO dan Presiden Zelensky. Pada akhirnya, semuanya tergantung pada mereka."

Keesokan harinya, di media sosial, Trump menulis:

"Presiden Zelensky dari Ukraina dapat mengakhiri perang dengan Rusia segera jika ia mau, atau ia dapat terus berjuang."

Dengan kata lain, Trump memindahkan tanggung jawab ke Ukraina. Dan hal ini sejalan dengan posisi Rusia.

Kesimpulan

Jika menggabungkan empat faktor ini, kesimpulannya jelas: Trump kalah telak di Alaska.

Dan sebenarnya, hasil ini sudah bisa diprediksi dari latar belakangnya:

  • Rusia unggul di medan perang.

  • Ukraina kekurangan pasukan.

  • Sang mediator, Donald Trump, terlihat lebih condong ke Putin daripada ke Zelensky.

  • Niat Trump pun ambigu; ia lebih peduli pada pencapaian pribadi ketimbang substansi perdamaian.

Dalam kondisi ini, KTT Alaska hanya bisa berakhir dengan satu kemungkinan: kemenangan Putin.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun