Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

50 Tahun UE-Tiongkok: Antara Kerja Sama Iklim dan Ketimpangan Dagang

25 Juli 2025   19:31 Diperbarui: 25 Juli 2025   19:31 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dibalik pelukan protokoler antara Brussel dan Beijing, ketegangan nyata terus tumbuh. Uni Eropa lelah menjadi pasar raksasa bagi produk murah Tiongkok. Sementara Tiongkok tak pernah benar-benar membuka diri secara adil.

Diplomasi adalah seni berbicara sambil menyembunyikan rasa frustasi. Dan kunjungan para pejabat tinggi Uni Eropa ke Tiongkok baru-baru ini menjadi salah satu contoh yang paling kentara. Ketua Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, bersama Presiden Dewan Eropa Charles Michel, berada di Beijing bukan hanya untuk memperingati 50 tahun hubungan diplomatik antara Uni Eropa dan Tiongkok, tetapi juga untuk menyampaikan pesan tegas(tapi dengan senyuman).

Momen tersebut secara simbolik menandai kematangan hubungan diplomatik yang panjang. Namun seperti banyak hubungan panjang lainnya, yang tersisa kadang bukan cinta, melainkan kelelahan, kecurigaan, dan kebutuhan untuk "menata ulang". Dalam pidatonya yang langsung kepada Presiden Xi Jinping, von der Leyen menyatakan bahwa hubungan ini telah mencapai inflection point (titik balik yang menentukan). Bukan lagi sekadar momen evaluasi, tapi momen memilih jalan, apakah akan menuju kemitraan yang lebih sehat atau keterasingan yang makin dalam?

Sejak awal 2000-an, ketika Tiongkok mulai masuk ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan meroket sebagai pabrik dunia, Uni Eropa menjadi salah satu konsumen terbesar dari barang-barang ekspor Tiongkok. Dari pakaian, peralatan rumah tangga, alat elektronik, hingga mobil listrik dan teknologi energi hijau, semuanya membanjiri pasar Eropa. Namun aliran sebaliknya (produk Eropa ke pasar Tiongkok) tidak pernah benar-benar seimbang.

Menurut data Komisi Eropa sendiri, defisit perdagangan antara UE dan Tiongkok terus melebar. Tahun 2023 saja, nilai impor dari Tiongkok ke Eropa mencapai lebih dari 626 miliar, sementara ekspor Eropa ke Tiongkok hanya sekitar 230 miliar. Terlihat jurang ekonomi yang semakin melebar.

Mengapa? Karena meskipun Tiongkok telah menjadi negara dengan ekonomi terbuka secara global, mereka tetap mempertahankan berbagai bentuk proteksionisme dalam negerinya. Mulai dari pembatasan kepemilikan asing, subsidi besar-besaran kepada industri lokal, hingga aturan-aturan yang rumit dan tidak transparan bagi perusahaan asing. Alhasil, Eropa merasa seperti pemain bola yang diminta bertanding di lapangan miring, dengan aturan yang hanya menguntungkan satu pihak.

Salah satu hal yang menarik dari von der Leyen adalah keberaniannya menyampaikan realitas secara langsung. Ia menyebutkan bahwa relasi ini "perlu disesuaikan ulang" atau "rebalanced". Sebuah istilah yang terdengar sopan, tapi sarat makna. Rebalancing di sini bukan hanya soal perdagangan, melainkan tentang perimbangan kekuatan ekonomi, teknologi, dan geopolitik.

Von der Leyen bukan tanpa alasan khawatir. Di satu sisi, Tiongkok menawarkan kerja sama dalam isu global seperti perubahan iklim. Namun di sisi lain, mereka mendesak masuk ke jantung industri strategis Eropa, termasuk lewat akuisisi perusahaan teknologi, investasi di pelabuhan penting seperti Piraeus di Yunani, hingga pengaruh di sektor energi.

Apakah Eropa sedang dikolonisasi secara ekonomi? Tidak sepenuhnya. Namun terlalu banyak elemen strategis yang saat ini dikendalikan atau dipengaruhi Tiongkok, dan hal itu mengganggu narasi kemandirian strategis (strategic autonomy) yang sedang digaungkan Brussel.

Menariknya, ada satu titik temu yang masih menyatukan UE dan Tiongkok: perubahan iklim. Baik Eropa maupun Tiongkok sepakat bahwa transisi energi harus didorong, emisi karbon harus ditekan, dan inovasi teknologi hijau harus dikembangkan bersama. Namun di sini pun, relasi mereka tidak benar-benar adil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun