Tiongkok saat ini merupakan pemimpin dunia dalam produksi panel surya, baterai lithium, dan kendaraan listrik. Tapi dominasi itu bukan muncul dari kompetisi bebas semata. Industri-industri ini tumbuh berkat subsidi negara yang masif, proteksi pasar domestik, dan penguasaan sumber daya strategis di luar negeri, seperti nikel dari Indonesia dan kobalt dari Afrika.
Sementara itu, produsen hijau di Eropa, seperti di Jerman atau Belanda, kesulitan bersaing dari sisi harga. Akibatnya, Eropa kembali menjadi konsumen, bukan produsen dari masa depan energi bersih.
Dalam kunjungan ini, diplomasi Eropa menghadapi dilema klasik, bagaimana membina hubungan yang sehat dengan mitra yang semakin dominan, tetapi tidak sepenuhnya setara dalam pendekatan? Eropa tidak ingin merusak hubungan dengan Tiongkok, terutama di tengah instabilitas global dan konflik seperti perang Rusia-Ukraina. Namun Eropa juga tidak bisa lagi menoleransi ketimpangan yang sistemik.
Solusinya? Von der Leyen menyebutkan perlunya "kerangka kerja yang transparan dan adil." Tapi apakah itu mungkin? Kita sedang berbicara tentang dua sistem ekonomi dan politik yang sangat berbeda: demokrasi pasar sosial versus otoritarianisme kapitalis negara.
Dalam situasi ini, Uni Eropa tak punya banyak pilihan selain memperkuat fondasi internalnya sendiri. Mereka perlu menghidupkan kembali industri strategisnya, mengurangi ketergantungan pada rantai pasok Tiongkok, serta meningkatkan kerja sama dengan negara-negara lain yang menawarkan diversifikasi pasar, seperti India, ASEAN, dan Amerika Latin.
Yang juga penting untuk disadari adalah bahwa dunia kini bergerak ke arah multipolaritas. Tidak ada lagi dua kutub besar seperti era Perang Dingin. Kini ada Tiongkok, India, Turki, Brazil, dan kekuatan-kekuatan regional lain yang turut menentukan arah dunia. Dalam konteks ini, Uni Eropa harus berhenti bersikap naif dan mulai bersikap realistis.
Kunjungan ke Tiongkok ini adalah cerminan bahwa Eropa sadar akan keterbatasannya, tapi juga berusaha keluar dari ketergantungan lama. Mereka tidak ingin menjadi perpanjangan tangan kebijakan Amerika Serikat, tapi juga tidak ingin dikuasai Tiongkok secara ekonomi.
Maka, diplomasi multivektor (hubungan terbuka dengan banyak kekuatan tanpa ketergantungan absolut pada satu pihak) adalah jalan yang paling masuk akal. Dan di sinilah peran von der Leyen menjadi penting: ia sedang merintis jalan diplomasi yang lebih tegas, lebih strategis, dan tidak sekadar kosmetik protokoler.
Pada akhirnya, 50 tahun hubungan diplomatik bukanlah tentang nostalgia, melainkan tentang masa depan. Uni Eropa dan Tiongkok bukan pasangan yang sedang jatuh cinta, tetapi dua tetangga raksasa yang harus terus berdialog, meski kerap tidak sepaham. Senyum yang mereka tunjukkan di depan kamera bukan tanda bahagia, tapi bentuk sopan santun dalam hubungan yang rapuh.
Jika rebalancing tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan, besar kemungkinan hubungan ini akan semakin renggang. Dan dunia, sayangnya, tidak kekurangan konflik dan ketegangan baru untuk ditambah masalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI