Semakin banyak pasangan (termasuk di Indonesia) yang memilih untuk tidak memiliki anak (childfree). Alasannya beragam, mulai dari pertimbangan ekonomi, trauma masa kecil, krisis iklim, hingga alasan eksistensial.
Sayangnya, mereka masih sering dicap egois, tidak produktif, atau anti-sosial. Bahkan tokoh publik seperti Gita Savitri sempat menjadi sasaran kritik karena menyatakan pilihan hidup childfree sebagai bentuk kebebasan.
Padahal, justru dalam sistem sosial yang tidak adil dan dunia yang rapuh, pilihan untuk tidak menambah populasi bisa dibaca sebagai tanggung jawab moral. Dan yang paling penting: itu adalah hak.
Tidak semua orang diwajibkan untuk menjadi orang tua. Dan itu tidak membuat mereka kurang "bernilai" sebagai warga negara.
Salah satu kekhawatiran yang sering muncul terkait angka kelahiran rendah adalah pertanyaan: siapa yang akan merawat lansia jika tak ada cukup anak?
Tapi benarkah hanya anak kandung yang bisa merawat? Apakah sistem solidaritas hanya bisa dijalankan lewat hubungan darah?
Faktanya, banyak lansia saat ini bahkan tidak dirawat oleh anak-anak mereka, karena hidup terpisah, konflik keluarga, atau karena anaknya sendiri kewalahan. Di sisi lain, komunitas, lembaga sosial, dan kebijakan publik yang baik bisa menyediakan perlindungan jauh lebih merata daripada sekadar berharap pada keluarga inti.
Artinya, solusinya bukan membuat lebih banyak bayi. Solusinya adalah membangun sistem sosial yang kuat.
Narasi "krisis angka kelahiran" sering kali berbicara tentang kuantitas, bukan kualitas. Padahal, masyarakat yang sehat tidak hanya dilihat dari jumlah anak yang lahir, tetapi dari: