Ketiadaan sistem dukungan seperti cuti melahirkan atau daycare
Ketidakpastian iklim dan masa depan planet ini
Singkatnya, bukan karena mereka "egois" atau "terpengaruh gaya hidup Barat", tetapi karena sistem sosial tidak mendukung kehidupan keluarga yang sehat. Memberi insentif keuangan semata tanpa memperbaiki fondasi itu, ibarat menyiram pasir berharap tumbuh pohon.
Narasi Negara vs Hak Reproduksi Perempuan
Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika narasi "krisis kelahiran" dijadikan dalih untuk menyerang hak reproduksi. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, hukum yang menghapus hak aborsi bahkan berujung pada kasus perempuan yang mati otak dipertahankan hidup demi janinnya bahkan tanpa persetujuan keluarganya.
Fenomena ini membuka diskusi etis yang lebih luas, sampai sejauh mana negara boleh mencampuri tubuh warganya? Apakah rahim perempuan adalah milik negara, milik pasar, atau miliknya sendiri?
Di Indonesia, wacana tentang "krisis kelahiran" tidak sekeras di negara-negara maju, tetapi pola intervensi negara terhadap tubuh perempuan telah lama terjadi, terutama dalam program Keluarga Berencana (KB). Dalam beberapa dekade terakhir, negara mendorong perempuan untuk menunda kehamilan demi "kesejahteraan nasional". Kini, ketika tren kelahiran mulai melandai, apakah negara akan memutar arah dan kembali mendorong kelahiran besar-besaran?
Yang jadi pertanyaan, apakah tubuh perempuan boleh dijadikan alat kebijakan demografi bolak-balik tanpa pernah didengarkan aspirasinya?
Satu argumen penting yang kerap dilupakan dalam debat ini adalah kondisi bumi kita sendiri. Pada tahun 2023, populasi dunia mencapai 8 miliar. Setiap bayi baru berarti lebih banyak emisi karbon, lebih banyak konsumsi energi, lebih banyak limbah. Ini bukan menyalahkan anak-anak---tetapi mengingatkan bahwa populasi adalah bagian integral dari krisis iklim global.
Tentu saja, tanggung jawab utama tetap ada di negara-negara dengan jejak karbon tinggi. Tetapi dalam logika keberlanjutan, kita perlu bertanya: apakah kita harus terus tumbuh hanya demi menjaga sistem ekonomi?
Apakah pertumbuhan populasi tak terbatas masih masuk akal di tengah krisis air, pangan, dan perumahan?
Angka kelahiran yang melandai bisa jadi adalah reaksi alami manusia terhadap krisis ekologis. Mungkin ini bukan krisis, melainkan bentuk adaptasi.