Setiap beberapa tahun, dunia panik. Bukan karena wabah atau perang. Tapi karena... perempuan tidak cukup melahirkan.
Narasi krisis demografi mulai ramai kembali. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Italia, hingga China kini mengalami fenomena yang disebut sub-replacement fertility, yakni angka kelahiran di bawah ambang pengganti populasi, yaitu 2,1 anak per perempuan. Kekhawatiran ini terdengar masuk akal: jumlah lansia makin banyak, jumlah bayi makin sedikit, dan beban ekonomi dianggap akan bertumpu pada generasi muda yang makin langka.
Tetapi, benarkah penurunan angka kelahiran ini adalah bencana global yang harus ditangani dengan cara mendorong perempuan untuk lebih banyak melahirkan? Ataukah kita perlu mempertanyakan narasi tunggal yang selama ini dibentuk oleh negara dan ekonomi pasar?
Bagaimana jika, dalam dunia yang penuh tantangan ekologis dan sosial, angka kelahiran rendah justru merupakan kesempatan langka untuk membangun masyarakat yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi?
Krisis Demografi atau Krisis Imajinasi?
Dalam banyak kebijakan pro-natalis, kita melihat bagaimana negara mengintervensi ruang privat perempuan. Di Korea Selatan dan Singapura, pemerintah memberikan insentif uang tunai bagi setiap kelahiran. Di China pasca satu anak, pemerintah malah harus membujuk warga untuk punya dua atau tiga anak. Di Italia, keluarga besar diberikan insentif pajak. Di Jepang, anak-anak yang lahir di tengah pandemi diberi bonus.
Namun, apakah solusi semacam itu menyentuh akar persoalan?
Di banyak negara, perempuan menunda atau tidak memiliki anak karena: