Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimana Jika Angka Kelahiran Rendah Sebenarnya Sebuah Berkah?

23 Juli 2025   17:36 Diperbarui: 23 Juli 2025   17:49 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap beberapa tahun, dunia panik. Bukan karena wabah atau perang. Tapi karena... perempuan tidak cukup melahirkan.

Narasi krisis demografi mulai ramai kembali. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Italia, hingga China kini mengalami fenomena yang disebut sub-replacement fertility, yakni angka kelahiran di bawah ambang pengganti populasi, yaitu 2,1 anak per perempuan. Kekhawatiran ini terdengar masuk akal: jumlah lansia makin banyak, jumlah bayi makin sedikit, dan beban ekonomi dianggap akan bertumpu pada generasi muda yang makin langka.

Tetapi, benarkah penurunan angka kelahiran ini adalah bencana global yang harus ditangani dengan cara mendorong perempuan untuk lebih banyak melahirkan? Ataukah kita perlu mempertanyakan narasi tunggal yang selama ini dibentuk oleh negara dan ekonomi pasar?

Bagaimana jika, dalam dunia yang penuh tantangan ekologis dan sosial, angka kelahiran rendah justru merupakan kesempatan langka untuk membangun masyarakat yang lebih adil, berkelanjutan, dan manusiawi?

Krisis Demografi atau Krisis Imajinasi?

Dalam banyak kebijakan pro-natalis, kita melihat bagaimana negara mengintervensi ruang privat perempuan. Di Korea Selatan dan Singapura, pemerintah memberikan insentif uang tunai bagi setiap kelahiran. Di China pasca satu anak, pemerintah malah harus membujuk warga untuk punya dua atau tiga anak. Di Italia, keluarga besar diberikan insentif pajak. Di Jepang, anak-anak yang lahir di tengah pandemi diberi bonus.

Namun, apakah solusi semacam itu menyentuh akar persoalan?

Di banyak negara, perempuan menunda atau tidak memiliki anak karena:

  • Biaya hidup tinggi

  • Kurangnya jaminan pekerjaan

  • Ketimpangan beban pengasuhan antara pria dan wanita

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun