Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Iran, Hijab, dan Kebebasan Berpendapat

2 Oktober 2022   23:47 Diperbarui: 5 Oktober 2022   18:25 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang-orang berunjuk rasa menentang Presiden Iran Ebrahim Raisi di luar markas PBB di New York City, Amerika Serikat, Rabu (21/9/2022). Demo Iran pecah setelah kematian Mahsa Amini, perempuan Iran yang ditangkap polisi karena disebut mengenakan jilbab secara tidak pantas. (GETTY IMAGES/STEPHANIE KEITH via AFP/KOMPAS)

Demonstrasi yang sedang berlangsung saat ini menjadi tantangan yang paling serius yang pernah dihadapi pemerintah Iran. Memang selama bertahun-tahun ada aksi protes tetapi yang terjadi kali ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ribuan orang Iran berani mempertaruhkan nyawa mereka menghadapi  tongkat dan gas air mata. Mereka berani membangkang terhadap para pemimpin yang tampaknya tidak punya jawaban mengenai masalah ini.

Kenapa? karena aksi-aksi protes ini bukan hanya tentang hijab. Sejujurnya protes ini mungkin berpusat di sekitar hijab tetapi ada spektrum yang lebih luas  yang selama ini membebani masyarakat Iran. Aksi protes kali ini juga mernjadi protes kepada aturan agama yang kaku dan sebuah generasi yang terlahir karena diskriminasi berbasis gender.

Sejak revolusi Islam 1979, ulama di Iran terus mengatur kehidupan dan tubuh perempuan mulai dari apa yang mereka lakukan, apa yang mereka kenakan, hingga bagaimana mereka berperilaku. Negara menegakkan undang-undang ini melalui polisi moral Iran yang bertugas memastikan model Islam yang diinginkan para ulama diikuti. Denda, penjara, dan kekerasan fisik yang menjadi hukuman atas ketidakpatuhan telah menjadi bom waktu yang baru meledak sekarang.

Target polisi moralitas ini sebagian besar adalah wanita, sementara laki-laki Iran bebas mengenakan apa pun yang mereka inginkan. Jadi tragedi yang sedang berlangsung menjadi sebuah pemeriksaan realitas bagi Iran, pengingat tentang bagaimana seharusnya hijab dimaknai.

Menurut seorang penulis dan aktivis muslim Samina Ali dalam presentasenya di TED Talk, kata "hijab" muncul setidaknya delapan kali dalam Quran dan setiap referensiya mengartikannya penghalang atau partisi. (Dalam KBBI sendiri kata "hijab" berarti dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain). Jadi, setiap referensi mengatakan konsep "hijab" itu spiritual, tidak terbatas pada fisikal, dan konsep ini berlaku tidak hanya bagi perempuan tetapi juga laki-laki.  

Para akademisi mengatakan kalau ide umum di balik hijab adalah bahwa semua Muslim harus berperilaku sopan berpakaian, sopan menutupi bagian pribadi mereka dan menghindari eksplorasi seksual terlepas dari jenis kelamin, tetapi sebagian negara Muslim percaya bahwa aturan ini hanya berlaku untuk wanita.

Kesalahpahaman ini sebagian besar berasal dari patriarki, dan Iran merupakan contoh klasik dari semua ini. Semua aturan dan hukum di sekitar pakaian wanita didikte oleh pemimpin individu (yang selalu) laki-laki. Hanya laki-laki yang menjadi cendekiawan, ulama, imam, dan politisi. Mereka memilih ayat-ayat Islam sesuai dengan narasinya sendiri.

Demonstasi masal seperti yang sedang berlangsung berasal dari diskriminasi seperti ini. Memang benar, yang saat ini berlangsung ditujukan bagi hijab, tetapi juga bagi undang-undang ketat lainnya terhadap perempuan.

Hijab hanyalah salah satu dari beberapa aturan keras bagi perempuan. Terdapat isu lain yang bisa diamati untuk melihat bentuk patriarki Iran. Misalnya usia minimum untuk menikah. Pada satu masa, batas usia minimum untuk menikah bagi perempuan adalah sembilan tahun. Sekarang munking agak mendingan yaitu 13 tahun. Ditambah seorang wanita Iran hanya bisa menikah dengan izin resmi dari patriark keluarganya. Sebaliknya, pria Iran dapat menikah empat kali tanpa meminta izin apapun.

Selanjutnya undang-undang tentang perceraian. Wanita Iran boleh menceraikan suaminya hanya dengan bantuan seorang ulama atau pengadilan. Dan itu juga hanya dengan alasan tertentu seperti jika pasangan tidak stabil secara mental atau suami pemabuk atau sedang menjalani hukuman penjara. Sebaliknya, pria Iran tidak menghadapi pembatasan seperti itu. Pria Iran tidak memerlukan intervensi pihak ketiga untuk perceraian. Mereka memiliki kebebasan untuk mengajukan perceraian bahkan hanya dengan mengucapkannya secara lisan.

Selanjutnya hukum waris. Jika seorang wanita Iran meninggal, hartanya dialihkan ke suaminya. Tetapi jika suami meninggal, jandanya hanya berhak seperdelapan harta suami. Plus dalam kasus warisan bagi anak-anak, anak laki-laki mendapat dua kali bagian dari harta ayah dibandingkan dengan anak perempuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun