Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Bertahan dari Belenggu Gangguan Mental

14 Oktober 2025   22:26 Diperbarui: 14 Oktober 2025   22:26 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay.com/Mindworld

Masa-masa paling suram ketika diterpa gangguan mental terjadi pada sepanjang tahun 2018. Waktu itu keadaan saya kacau. Sangat-sangat kacau. Saya diteror oleh gejala yang baru saya ketahui belakangan bernama halusinasi dan delusi (waham). Keduanya terus menghantui sepanjang tahun, membuat saya kehilangan realitas pada kehidupan yang saya jalani sehari-hari.

Saya kurang ingat kapan pertama kali gejala-gejala itu mulai muncul. Mungkin pertengahan tahun 2017, mungkin juga pada akhir tahun 2017. Namun, gejala-gejala itu mulai menganggu bagi saya pada awal tahun 2018. Awalnya saya diterpa oleh halusinasi auditori (suara). Suara yang saya dengar macam-macam: ada yang memaki, menghasut, dan bising bak ingar bingar keramaian. Perilaku saya sehari-hari jadi bergantung pada suara macam apa yang sedang saya dengar. Kala dilanda oleh suara yang memaki misal, saya akan mudah marah, kesal, atau bahkan mengamuk sampai membanting barang-barang. Lalu, saat saya dilanda oleh suara yang menghasut, saya akan tanpa pikir panjang melakukan apapun yang suara itu suruh. Salah satu yang paling sering: saya disuruh pergi dari rumah, diperingati kalau ada seseorang yang bakal datang mencelakai saya. Suara itu berkata: cepat pergi! Atau seseorang akan membunuhmu! Saya akan langsung pergi kala mendengar suara tersebut, tanpa persiapan, tanpa membawa benda-benda penting (seperti kartu identitas dll), dan dengan pakaian yang seadanya. Lalu, saat saya dilanda oleh suara yang seperti ingar bingar keramaian, saya bakal jadi nggak mudeng sama setiap perkataan orang lain. Diajak ngomong dalam keadaan itu, saya bakal kebanyakan hah-heh-hoh, persis seperti orang tua yang pendengarannya sudah ada di tahap prihatin. Selain itu, saya juga jadi sulit fokus, mudah lupa, dan sering insomnia gara-gara terus mendengar suara berisik tersebut.

Masih di tahun yang sama, selain halusinasi saya juga akhirnya mulai mengalami delusi. Delusi atau waham yang saya alami berupa merasa yakin diawasi, dibuntuti, atau bahkan diincar nyawanya oleh seseorang. Saya bakal merasa cemas, khawatir, gelisah, atau bahkan takut sejadi-jadinya kala mengalami hal tersebut. Gerak-gerik saya dalam keadaan itu juga kentara banget. Menurut tetangga yang pernah memperhatikan saya, dia pernah melihat saya berjalan dengan gelisah, gusar, dan terus menengok ke belakang seolah-olah ada orang lain yang mengikuti saya. Perasaan seperti ini juga pernah saya alami waktu di rumah, saat saya sedang mengerjakan sesuatu di laptop dan tiba-tiba merasa seseorang telah memata-matai saya melalui kamera laptop yang saya gunakan. Rasa takut yang teramat sangat membuat saya menutup laptop, menghentikan kegiatan, dan jadi nggak pernah mau menggunakan laptop itu sama sekali selama berhari-hari (atau kadang berminggu-minggu). Kadang, saya juga jadi curiga kepada orang-orang rumah, merasa kalau merekalah yang selama ini mengawasi dan mengintai saya. Kecurigaan itu membuat saya nggak betah di rumah dan memilih pergi dari sana untuk menenangkan diri. Tentu, di masa itu saya belum menyadari bahwa perasaan yang saya alami adalah delusi.

Namun yang paling ngeri dari semuanya adalah saat halusinasi visual menyerang. Jadi, selain mengalami halusinasi auditori, saya juga mengalami halusinasi visual (penglihatan). Memang, harus saya akui dibanding dengan halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan adalah halusinasi yang jarang sekali menerpa kehidupan saya sehari-hari. Namun, sekalinya muncul, beuh! Saya akan sangat kacau, nggak keruan, berantakan, luluh lantak, dan entah istilah apa lagi yang bisa saya pakai untuk menggambarkan kondisi ini. Salah satu yang paling mengerikan dan masih saya ingat adalah saat saya melihat wajah semua orang menyeramkan. Di mata saya, muka mereka sama: melotot, bergigi taring, dan terus menatap saya dengan tatapan penuh kebencian. Saya pernah lari terbirit-birit waktu mengalami ini saat sedang jalan pulang dari suatu tempat ke rumah. Dengan napas tersengal-sengal, sesampainya di depan rumah saya langsung membuka pintu dengan kasar, nggak peduli lagi menutupnya, dan kemudian mengurung diri di kamar. Ibu saya menghampiri waktu itu untuk bertanya kenapa saya terlihat ketakutan. Namun, saya nggak berani menjelaskan apa-apa, sebab, di mata saya wajah ibu juga menunjukan rupa yang sama. Itu menjadi keadaan terburuk yang pernah saya alami dari menderita gangguan mental. Menjadikan saya takut berhari-hari dan akhirnya selalu mengurung diri.

***

Karena gejala yang nggak mereda dan terus bertambah intensitasnya, ibu akhirnya membawa saya ke psikiater pada awal Januari 2019. Jantung saya berdebar-debar saat duduk di ruang tunggu poli psikiatri. Saya overthinking waktu itu, merasa kalau pertemuan saya dengan psikiater bakal berlangsung dengan nggak mengenakan. Ada teater di kepala saya bahwa psikiater yang saya temui bakal mencecar saya dengan macam-macam pertanyaan. Saya juga nggak ngerti kenapa saya bisa punya pikiran seperti itu. Semua terjadi begitu saja, tanpa saya ketahui sebabnya.

Namun, teater dalam kepala buyar ketika ternyata psikiater yang saya temui adalah orang yang humble. Ia tersenyum ramah, menyapa saya dan ibu saat saya masuk dengan jantung---yang masih---berdebar-debar. Nggak banyak yang saya ingat saat sesi konsul berlangsung selain ibu yang banyak mengeluh ini-itu tentang kondisi saya. Ia mengadu soal saya yang sering kelihatan cemas, takut, dan insomnia yang melanda setiap hari. Singkat cerita, dari konsultasi hari itu, saya didiagnosa pertama kali mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder).

Namun, pada pertengahan tahun diagnosa itu berubah menjadi skizofrenia paranoid. Psikiater akhirnya tahu kondisi saya yang sebenarnya, setelah semuanya terungkap pada suatu sesi konsul. Waktu itu saya disuruh untuk menuliskan apa yang saya cemaskan dan takutkan sehari-hari ke dalam buku catatan. Metode itu ditempuh gara-gara saya sulit berkomunikasi, karena sejak ibu absen mengantar saya ke psikiater (karena halangan pekerjaan), saya diharuskan datang dan menjelaskan apa-apa sendiri. Saat membaca buku catatan saya pada suatu hari, psikiater menyadari bahwa beberapa minggu belakangan ini saya sering menulis tentang suara-suara yang membuat saya ketakutan. Dia lalu jadi membuka lagi catatan saya di halaman-halaman sebelumnya. Karena terlalu sering keluhan soal suara itu muncul, psikiater akhirnya bertanya, "kamu tahu nggak itu suara siapa?"

Saya menggeleng.

Dia lalu bertanya lagi, "Suara itu terdengar di telinga kamu, atau cuma kayak suara hati aja?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun