Tetapi apakah bisa membaca dan menulis saja cukup? Tentu tidak, tetapi kemampuan ini menjadikan bekal bagi kita untuk bisa berkembang secara personal dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat hingga bermanfaat bagi masyarakat.
Siang itu, kami harus bertemu dengan Sonoda-san, perempuan berambut pendek yang sudah lanjut usia, tapi jangan salah. Bersemangat sekali!
Kami duduk di belakang ruang kelas, yang terisi 30an orang. Sebagian besar adalah orang tua. Di depan kelas, ada dua orang yang memfasilitasi kelasnya. Selain itu setiap bangku setidaknya diisi dua orang.
"Bapak dan ibu, hari ini kita juga kedatangan dua orang mahasiswa dari Indonesia yang ingin melihat kegiatan kita, ya"- begitu pesan Sonoda-san, yang disampaikannya pada peserta belajar.
Ternyata kelas ini adalah kelas yang sukarela, artinya pesertanya belajar tidak dipungut biaya, jadi kalau mau belajar silahkan datang saja. Selain itu, guru dan fasilitatornya juga sukarela, alias volunteer. Sehingga guru dan murid, keduanya sukarelawan.
Saat kami datang, kelas yang sedang berlangsung adalah kelas menulis semacam puisi atau haiku. Tentu dalam katakana, yang membacanya pun sa kesulitan.
Setelah ada pembelajaran klasikal di kelas, mengenali puisi-puisi, kemudian kelasnya berubah menjadi dua: ada kelompok kecil yang berpisah dari kelas besar. Yang tinggal, ternyata masing-masing orang punya semacam teman belajar, yang merupakan sukarelawan juga.
Sekelas yang isinya 30an orang, kebanyakan orang tua ini membuat saya terkagum. Apalagi ketika melihat dan mengobservasi kesungguhan mereka belajar. Ya sudah tua kok semangat sekali? Sepertinya saya masih terbawa bayangan selama berinteraksi di Sorong misalnya, yang kalau ada kesempatan belajar biasanya yang senior lebih mendorong yang muda-muda saja.
Semangat belajar juga mengingatkan saya pada Sazaki-san, yang saya temui di Arai Machinowa Library di daerah Arai, pinggiran Kota Sendai. Ia, dengan suara berat agak serak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Sembari kemudian mengambil biolanya. "Saya itu baru belajar memainkan biola saat pensiun, dan sekarang sudah dua tahun di usia saya yang ke 72. Saya berharap bisa mahir memainkannya dalam beberapa tahun ini." Angkat topi buat semangatnya.
Â
Belajar di usia muda saja tidak mudah, apalagi di usia senja. Juga selama di Jepang, rasanya saya merasa tidak mudah membuat atau terhubung dengan orang lain. Terutama karena soal bahasa, tetapi juga ada rasa individualisme yang tinggi.