Dalam beberapa tahun terakhir, posisi utang pemerintah Indonesia menjadi sorotan utama di tengah upaya pemulihan ekonomi pascapandemi. Jumlah utang pemerintah melonjak signifikan sebagai dampak dari kebutuhan pembiayaan besar selama pandemi COVID-19. Ketika penerimaan negara merosot akibat perlambatan ekonomi, pemerintah terpaksa mengandalkan utang guna menutup defisit anggaran dan membiayai berbagai program penanganan krisis kesehatan serta pemulihan ekonomi nasional.
Lonjakan utang tersebut tentu menambah beban fiskal yang harus ditanggung pemerintah dalam jangka panjang. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir 2024, posisi utang pemerintah tercatat lebih dari Rp8.200 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB berkisar antara 38% hingga 39%. Meski masih dalam batas aman menurut Undang-Undang Keuangan Negara, tren kenaikan utang ini tetap mengundang kekhawatiran, terutama soal kemampuan pemerintah dalam melunasi utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat.
Menanti Badai Jatuh Tempo 2025-2027
Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah menghadapi gelombang jatuh tempo utang pada periode 2025-2027. Data Kementerian Keuangan mencatat, total utang jatuh tempo selama periode tersebut mencapai sekitar Rp2.837 triliun. Rinciannya, Rp800,33 triliun jatuh tempo pada 2025, Rp803,19 triliun pada 2026, dan Rp802,61 triliun pada 2027.
Besarnya angka tersebut bukan sekadar soal nominal, tetapi juga dampaknya terhadap ruang fiskal dan stabilitas ekonomi. Pemerintah tidak hanya dihadapkan pada kewajiban melunasi utang tepat waktu, tetapi juga memastikan pembayaran utang tidak mengorbankan belanja prioritas atau memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Pandemi memang mempercepat lonjakan utang, tetapi masalahnya tidak berhenti di sana. Struktur utang pemerintah yang didominasi tenor pendek serta tingginya porsi utang dalam bentuk valuta asing (valas) membuat posisi fiskal semakin rentan. Ketika kurs rupiah melemah atau suku bunga global meningkat, beban pembayaran utang otomatis membengkak.
Risiko eksternal ini menjadi pengingat penting bagi pemerintah dalam mengelola utang ke depan. Jika tidak hati-hati, besarnya kebutuhan pembiayaan dan perubahan kondisi ekonomi global, seperti kenaikan suku bunga atau pelemahan nilai tukar rupiah, dapat memperberat beban pembayaran utang. Hal ini tentu dapat mengganggu kesehatan keuangan negara dan membatasi kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan di masa mendatang.
Strategi Menjinakkan Utang
Menghadapi ancaman jatuh tempo jumbo, pemerintah perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang solid dan berkelanjutan. Salah satu langkah utama adalah memperkuat penerimaan pajak. Reformasi perpajakan harus dipercepat, mulai dari memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, hingga mengoptimalkan digitalisasi sistem perpajakan.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih cermat mengelola portofolio utang. Diversifikasi sumber pembiayaan, baik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar domestik maupun internasional, perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar global dan domestik secara saksama.
Ketergantungan terhadap utang luar negeri juga perlu ditekan secara bertahap. Memperkuat pasar keuangan domestik menjadi kunci agar kebutuhan pembiayaan lebih banyak dipenuhi dari sumber dalam negeri, yang cenderung lebih stabil dan minim risiko nilai tukar.