Lagu "Fana Merah Jambu" bukan hanya tentang kisah cinta atau ketenangan, tetapi juga tentang pengakuan jujur terhadap ketidakpastian---sebuah perasaan yang sangat akrab bagi remaja. Liriknya yang berbunyi, "Biar saja mengalir, biarkan saja terjadi...", seolah menenangkan badai kecemasan yang muncul saat kita berdiri di persimpangan antara masa kanak-kanak dan kedewasaan.
Dalam psikologi pendidikan, fase ini disebut Krisis Identitas, dan ia adalah bagian yang sangat normal dari perkembangan remaja.
Ketika Eksistensi Terasa 'Fana' dan 'Merah Jambu':
Remaja adalah masa eksplorasi. Kita mulai berpikir abstrak, mempertanyakan norma, dan menimbang-nimbang masa depan. Namun, di tengah gempuran media sosial, ekspektasi akademik, dan tuntutan untuk segera "menentukan jalan," proses ini sering kali terasa seperti krisis besar:
1. Kecemasan Eksistensial: Siapa Aku di Tengah Semua Ini?
Kecemasan eksistensial adalah rasa khawatir yang mendalam tentang tujuan hidup, kebebasan memilih, dan kematian. Remaja mengalaminya saat mereka mulai menyadari bahwa pilihan mereka hari ini (misalnya, memilih jurusan di SMA atau universitas) akan menentukan siapa mereka di masa depan.
Gejala pada Remaja: Merasa hampa atau "kosong," merasa putus asa tentang masa depan, dan sering bertanya tentang makna dari kegiatan sehari-hari (seperti, "Buat apa aku belajar ini?"). Mereka melihat hidup sebagai sesuatu yang fana (sementara), sehingga sulit menemukan motivasi.
2. Difusi Identitas: Terjebak Tanpa Arah
Psikolog Erik Erikson menyebut tahap remaja sebagai Identity vs. Role Confusion (Identitas vs. Kebingungan Peran). Pada dasarnya, ini adalah periode eksperimen untuk mencari tahu peran sosial, nilai-nilai, dan tujuan karier.
Masalah muncul ketika remaja terjebak dalam apa yang disebut Difusi Identitas---kondisi di mana mereka belum berkomitmen pada suatu peran dan juga tidak aktif mencari. Mereka hanya "mengalir" bukan karena tenang, tetapi karena takut memilih.
Contoh: Remaja tidak tahu apakah mereka benar-benar suka seni atau dipaksa suka seni oleh lingkungan. Mereka kesulitan menentukan minat karena terlalu banyak pilihan atau terlalu takut gagal.
Belajar dari Filosofi "Fana Merah Jambu"
Filosofi dalam lagu ini mengajarkan kita tentang Penerimaan Diri (Self-Acceptance) dan Otonomi sebagai kunci melewati krisis identitas dengan tenang.
Kunci 1: Membiarkan Saja Mengalir (Penerimaan Diri)
Alih-alih memaksa diri untuk segera menemukan identitas, psikologi menganjurkan penerimaan diri. Menerima bahwa tidak tahu adalah bagian dari proses. Ketika Fourtwnty mengajak kita untuk "biar saja mengalir," itu adalah ajakan untuk mengurangi tekanan.
Terapkan ini:
Validasi Emosi: Akui bahwa perasaan bingung itu valid. Jangan menghakimi dirimu karena merasa takut atau tidak tahu jalan hidup.
Kurangi Perbandingan Sosial: Jangan ukur "aliranmu" dengan kecepatan "aliran" teman-temanmu di media sosial. Setiap orang memiliki tempo perkembangan identitas yang berbeda.
Kunci 2: Jangan Dikejar (Fokus pada Proses, Bukan Hasil)
Tekanan terbesar datang dari usaha "mengejar" identitas yang ideal. Dalam psikologi pendidikan, penting bagi remaja untuk mengembangkan Motivasi Proses (Growth Mindset), di mana kegagalan adalah pelajaran, bukan penentu harga diri.
Terapkan ini:
Eksplorasi Aktif: Ambil inisiatif untuk mencoba hal baru (ekstrakurikuler, hobi, volunteer). Tujuannya bukan untuk menemukan "pasangan hidup" atau "pekerjaan impian" secara instan, tetapi untuk menemukan apa yang dirimu suka dan dirimu tidak suka.
Identitas Moratorium: Psikolog James Marcia mengidentifikasi Moratorium sebagai fase sehat di mana remaja secara aktif menunda komitmen sambil bereksplorasi. Jadikan ini sebagai izin untuk mengambil waktu sejenak, merenung, dan mencoba-coba tanpa harus langsung menetapkan pilihan final.
Menciptakan 'Merah Jambu' yang Tenang:
"Fana Merah Jambu" mengingatkan kita bahwa masa remaja adalah periode yang indah dan penuh warna (merah jambu), meskipun terasa singkat dan rapuh (fana).
Krisis identitas bukanlah tanda kegagalan, melainkan undangan untuk benar-benar mengenal diri sendiri. Dengan meredam suara tuntutan dari luar dan mengizinkan diri "mengalir" sebentar, kita bisa mengubah kecemasan eksistensial menjadi kesempatan untuk menemukan identitas yang otentik dan kuat.
Jadi, biarkan saja mengalir. Waktu untuk menemukanmu yang sejati akan datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI