Multatuli (yang berarti ‘aku telah banyak menderita’ dalam bahasa Latin) sejatinya adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker.
Pagi hari di Banten, sembari membaca buku "Max Havelaar" karya Multatuli, yang lebih dikenal dengan Edward Douwes Dekker, seorang tokoh dari Tiga Serangkai yang sering kita pelajari ketika masih SD. Tak tahu kenapa, sebelum beranjak dari Jakarta ke Banten, ada dorongan untuk membawa buku ini.
Ketika sedang membaca, tak sengaja aku teringat dengan Lebak yang merupakan kabupaten yang berada di Banten, sebuah tempat yang diceritakan oleh Multatuli, tempat yang menjadi inti novel, yang mengangkat isu ketidakadilan dan penderitaan rakyat.
Tak jauh dari lokasi yang aku tuju, ternyata dekat dengan tempat Museum Multatuli dan rumah Asisten Residen (jabatan Douwes Dekker saat itu). Dalam pikiranku bercerita, "Memang sudah takdir aku membawa bukunya tanpa sengaja, di tempat dia melihat ketidakadilan itu." Tak pakai lama, lantas aku langsung menuju lokasinya yang berada di Jalan Rangkasbitung, Lebak. Sebelum sampai lokasi, aku sedikit membaca tentang tempat yang akan aku tuju, yang ternyata dulunya merupakan kantor kewedanan atau kantor administratif Hindia Belanda kala itu. Sesampainya di lokasi, terlihat campuran antara bangunan modern dan bangunan lama yang diusahakan untuk dipertahankan dengan nuansa dulu.
Masuk ke lokasi, langsung terlihat patung seorang Multatuli yang sedang membaca buku, yang di sebelahnya terlihat seperti ada rak buku, dan seorang perempuan yang duduk di kursi panjang sembari memegang bunga menghadap ke arah buku tersebut. Ia adalah "Adinda," yang dalam novel Max Havelaar melambangkan seorang perempuan desa di Lebak yang membawa cinta dan kesetiaan, yang di sisi lain menjadi simbol penderitaan rakyat. Patung ini merupakan karya Dolorosa Sinaga, seorang pemahat Indonesia.
Hanya butuh membayar Rp2.000 untuk dapat melihat sejarah yang ada di dalamnya. Ketika masuk, akan langsung terlihat tulisan di dinding yang bertuliskan "Tugas manusia adalah menjadi manusia." Menurutku, kalimat ini memiliki arti yang sangat dalam, karena Multatuli lahir ketika pejabat kolonial dan pejabat lokal kehilangan nurani. Kalimat itu memiliki makna memperlakukan sesama dengan adil, berempati, dan menolak ketidakadilan. Kata "menjadi" menurut saya menandakan proses, yang artinya manusia tidak otomatis manusia karena lahir sebagai manusia, tetapi harus ada proses untuk menjadi manusia yang sadar dan memiliki nurani.
Ketika melihat ke kiri ruangan pertama, akan terlihat patung Multatuli.Â
Jadi, isi dari museum ini terbagi menjadi tujuh ruangan dan empat tema. Tema pertama mengisahkan sejarah awal masuknya Cornelis de Houtman pada 1596 ke Indonesia, yang awalnya adalah mencari rempah-rempah dan membuka jalur perdagangan sampai beralih ke kopi. Tema kedua mengisahkan tentang seorang Multatuli, novelnya, dan tulisan-tulisannya. Masuk lebih dalam lagi akan melihat satu surat Multatuli dalam bentuk digital yang dikirimnya kepada Raja Belanda, Willem III, yang isinya memuat protes atas situasi di tanah jajahan yang pernah dialaminya. Ia juga meminta kepada Raja Belanda untuk lebih memperhatikan Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan merugikan rakyat. Kutipan dari suratnya: