Mohon tunggu...
David Khadafi
David Khadafi Mohon Tunggu... Buruh - Debutan

Melesatlah bersama cinta seperti anak panah menuju sasarannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemerdekaan adalah Alat, Bukan semata-mata Tujuan!

13 Oktober 2020   06:45 Diperbarui: 14 Oktober 2020   22:31 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita sekarang hidup di era perencanaan dan kejahatan yang sempurna. Para penjahat bukan lagi kanak-kanak tak berdaya yang mempergunakan dalih cinta. Bahkan sebaliknya, mereka dewasa", begitu kata Albert Camus.

Kini, apa yang dikatakan Camus sedang kita alami. Bahwa sekarang kita sedang hidup di era kejahatan yang sempurna, dan ajaibnya kejahatan ini disponsori oleh bangsa kita sendiri --- Pemerintah kita --- yang mendaku dirinya sebagai wakil rakyat, yang mendaku dirinya sebagai seorang yang Pancasilais, yang kerap mengatakan semua yang dilakukannya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Pemerintah baru saja mengesahkan UU Omnibus Law pada Senin, 5 Oktober 2020 lalu. Keputusan tersebut sontak menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Pada hari Kamis, 8 Oktober 2020 terjadi demo di berbagai daerah di Indonesia. Laksana letusan gunung berapi, amarah rakyat meluap, dan luber ke mana-mana, merusak apa saja yang ada di sekelilingnya. Bentrokan tak dapat dihindari.

Wajarkah bila publik marah? Wajar. Yang tidak wajar adalah pemerintah dan DPR kita!

Pasalnya, setelah disahkannya UU Omnibus Law itu, toh hingga kini rakyat tidak dapat mengaksesnya, justru yang terjadi adalah beredarnya versi-versi baru atas UU tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah: apa yang sebenarnya disahkan oleh DPR dan ditandatangani Jokowi pada tanggal 5 Oktober 2020 lalu?

Kenyataan ini seharusnya menuntun kita kembali pada bagaimana semestinya proses legislasi atau pembuatan UU itu, alih-alih terus meributkan versi-versi baru UU tersebut. Bukankah setelah disahkannya sebuah UU, seharusnya tidak ada lagi revisi-revisi? Sebab, UU adalah hal yang sakral.

Namun, pemerintah tak kunjung sadar diri, ia justru menangkapi dan menuduh para pengkritik Omnibus Law sebagai penyebar hoaks. Ia menganggap bahwa rakyatnya tolol, bahwa rakyat yang mayoritas hidup dalam kemiskinan, miskin pula pengetahuan dan intelektualitasnya. Yang setiap hari semakin sempit rezekinya --- karena dipersempit oleh sebuah sistem, maka sempit pula akal dan budi pekertinya.

"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja dilaterbelakangi disinformasi substansi info dan hoaks media sosial," kata Jokowi, Jumat 9 Oktober 2020.

Toh.. padahal, selama UU yang asli tidak ada, maka tidak ada pula dasar pemerintah menuduh rakyatnya sebagai penyebar hoaks. Apalagi menangkapinya.


Rezim Nekrofilia


Secara harfiah, nekrofilia berarti cinta pada kematian. Orang yang cinta pada kematian, disebut dengan nekrofil. Seorang nekrofil selalu terpikat pada penghancuran, dan bau kematian adalah aroma yang manis baginya. Dia dingin, jauh, penyembah "hukum dan ketertiban." Namun, nilai-nilainya justru berlawanan dengan nilai-nilai yang terkait dengan kehidupan. Salah satu ciri yang paling kentara seorang nekrofil adalah sikapnya terhadap kekuatan (force).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun