Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Diamkan Opini Sesat, Ceriwislah Wahai Para Pakar.

10 Oktober 2021   17:46 Diperbarui: 11 Oktober 2021   05:43 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Andrea Piacquadio from Pexels 

“The problem with the world is that the intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confidence.” (Canva/dokpri)
“The problem with the world is that the intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confidence.” (Canva/dokpri)

Lalu, apakah ini salah para pakar yang memilih diam saja? 

Tentu tidak bisa menyalahkan para pakar atas misinformasi yang terjadi di ruang publik. Tidak ada kewajiban para pakar untuk meng-counter narasi atau kebohongan di media sosial tersebut. Namun, lagi-lagi suara hati. Panggilan jiwa. Ini yang mesti menggugah kesadaran para pakar. Ayolah, ajari kami para netizen. Hal yang benar seperti apa? 

Terlepas dari kesan seakan membela Pemerintah ketika mendapat serangan, saya salut pada Cokro TV atau 2045 TV. Mereka konsisten mengedukasi publik dengan konten diskusi atau naras pembanding terhadap suatu isu secara berimbang. 

Ada upaya menyampaikan informasi yang sebenarnya.  Dengan nalar dan akal sehat, mestinya publik dapat menilai pihak mana yang bisa dipercaya. 

Jika SJW atau orang sok tahu yang lebih banyak berbicara di ruang publik, bisa dibayangkan betapa ‘sesat’ nya nanti informasi yang beredar di ruang publik. Bisa-bisa informasi ‘sesat’ itu dianggap menjadi kebenaran.  

Ada sebuah riset, terbit di jurnal Nature, mengungkapkan bahwa seringkali orang yang paling ngotot atau asal bunyi itu, sebenarnya tahu paling sedikit tetapi berpikir seakan mereka yang paling tahu. Jadi kita mesti hati-hati kalau ada orang yang seperti ini.

(shutterstock via nypost.com)
(shutterstock via nypost.com)
Perkembangan teknologi gadget pada era media sosial, penyebaran narasi kebohongan, seolah mencapai puncaknya. Facebook, Twitter, Instagram dan YouTube, menjadi media tersebarnya gosip, desas-desus, informasi bohong (hoax), opini menyesatkan (falsehood information), dan bahkan fitnah yang dengan mudah diproduksi dan disebarluaskan.

Untuk memberi gambaran, Kemkominfo pada Maret 2021 mencatat bahwa total isu hoax terkait COVID-19 sebanyak 1.470. Data ini merupakan kumpulan isu hoax COVID-19 dari 23 Januari 2020 sampai 10 Maret 2021. Isu hoax tersebut tersebar sebanyak 2.697 di media sosial, paling banyak di platform Facebook dan Twitter. Ada 2.360 konten hoax COVID-19 yang diturunkan, yaitu 1.857 di Facebook, 438 di Twitter, 45 di YouTube dan 20 di Instagram.  

Pengguna internet atau sering disebut netizen sering tidak bisa membedakan antara fakta atau opini, data atau gosip, kebenaran atau fitnah. Ini bukan salah mereka.  Ketidaktahuan salah satu penyebab hal itu. Diperburuk lagi, pihak netizen belum tentu kritis mencari informasi pembanding. Belum tentu netizen mampu melihat fakta secara jernih dan menimbang kebenaran sebelum menyebarkan informasi melalui media sosial.

Tom Nichols, penulis buku The Death of Expertise, mengajak kita untuk memilih informasi yang berseliweran. Kita mesti mau dengan menjadi rendah hati, mencari informasi dari sumber yang bervariasi, mengurangi sinisme terhadap isu, kelompok atau orang tertentu, dan selektif memilih informasi. 

Kata Tom Nichlols pula, para pakar harus selalu ingat bahwa mereka adalah pelayan, dan bukan tuan dalam masyarakat. Publik tidak bisa hidup tanpa mereka. Para pakar harus menerima kenyataan ini. 

Lalu siapa yang dimaksud sebagai pakar ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun