Bahasa akademik yang rumit itu tidak akan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Tulislah dengan bahasa yang dimengerti orang lain. Dengan bahasa sederhana, bahasa universal, yang hampir semua orang akan mengerti setelah membacanya.
Akhirnya pola pikir saya berubah. Untuk apa juga saya menulis di buletin yang pembacanya bahkan tidak lebih dari 1000 orang. Atau menulis di kolom opini surat kabar yang bahasanya harus sedikit rumit agar diterima untuk diterbitkan.Â
Dan ternyata koran cetak itu hanya dibaca sedikit orang. Zaman digital saat ini, orang membaca berita cukup di telapak tangan, cukup membaca berita online di smartphone yang dipunyai.
Bahasa akademik yang rumit itu tidak akan mudah dipahami oleh masyarakat umum. Tulislah dengan bahasa yang dimengerti orang lain. Dengan bahasa sederhana, bahasa universal, yang hampir semua orang akan mengerti setelah membacanya
Mencoba memahami Kompasiana
Saya telah menuliskan .... artikel pada blog Kompasiana ini. Ketika menulis pertama kali, hanya terpikir bahwa pokoknya saya harus mulai menulis. terserah apa topik dan isinya. Apakah itu tulisan yang bagus atau tidak biarkan pembaca yang menilai.Â
Toh Kompasiana tidak ada proses review yang rumit sebelum diterbitkan. Tidak serumit mengirim untuk koran cetak. Cukup klik simpan, preview, tayang. Maka dalam sedetik terbitlah tulisan itu. Sedemikian sederhana.
Toh Kompasiana tidak ada proses review yang rumit sebelum diterbitkan. Tidak serumit mengirim untuk koran cetak. Cukup klik simpan, preview, tayang
Dalam perjalanan menulis yang masih seumur jagung ini, setidaknya ada beberapa hal yang ingin saya bagikan:
1. Tulislah saat ide itu muncul.Â
Minimal tuliskan judulnya, dan simpan menjadi draft tulisan. Tiap kali ada ide, tuliskan judulnya, simpan menjadi draft. Demikian seterusnya. Ketika ada waktu luang, judul-judul tadi tinggal diuraikan menjadi sekitar 1000 kata idealnya.Â