Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kuliah Tanpa Skripsi atau Tesis, Bisakah Menjadi Bagian dari "New Normal"?

6 Juni 2020   16:23 Diperbarui: 6 Juli 2020   05:50 3452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Gustavo Fring from Pexels

Awalnya saya memandang rendah ketika dulu ada wacana kampus di Indonesia yang membolehkan mahasiswanya lulus tanpa menulis skripsi. Kuliah macam apa ini?

Skripsi kan muara dari semua perkuliahan itu. Di situlah kemampuan mahasiswa untuk berpikir analitis dan menuliskan dalam satu karya ilmiah. Mahasiswa macam apa yang menghindari skripsi. Demikian pemikiran saya kala itu.

Apakah skripsi yang menjadi esensi kuliah?
Berhubung setelah 10 tahun lalu terakhir duduk di bangku kuliah, untuk mengurai kebekuan otak, maka saya minta izin untuk ikut 'sit-in' pada kelas master di Australian National University. Sit-in di sini maksudnya ikut hadir di kelas, boleh mendengarkan kuliah, mendapat bahan-bahan kuliah, namun tidak terikat pada kewajiban mengerjakan tugas maupun ujian-ujian. Tidak diberikan nilai tentunya.

Saya mengamati bahwa dalam perkuliahan itu sangat cair. Dosen dengan sabar menjelaskan dan mengulang jika diminta.

Tidak ada tekanan, kuliah dibuat semenarik mungkin. Tidak ada pertanyaan bodoh. Apapun pertanyaan, sebelum menjawab, pasti si dosen selalu berterimakasih dan memuji. Ini mungkin yang membuat mahasiswa tidak takut bertanya. Hehe

Apa yang saya amati? Dalam perjalanan salah satu mata kuliah ini. Mahasiswa dituntut untuk bekerja sama untuk menyelesaikan studi kasus yang ditugaskan sang dosen. 

Laporannya pun ada yang dibuat secara mandiri, ada yang dibuat secara berkelompok. Laporan ini sendiri mirip skripsi. Tatacara penulisannya juga sudah menyerupai skripsi Lalu ada juga proyek mandiri yang setara dengan skripsi.

Mahasiswa mengambil tema sendiri lalu mengerjakan secara mandiri, lalu men-submit pada dosen setelah diselesaikan dan ditulis dalam bentuk laporan yang juga menyerupai skripsi.

Nah, di sini lah saya akhirnya menyadari bahwa meskipun program masternya tidak mewajibkan penelitian/tesis. Ternyata dalam perjalanan pembelajarannya, ya sudah 'mengerjakan' skripsi juga. Laporan dan tugas-tugas itu sudah menjadi sepadan dengan 'skripsi', meski tidak disebut skripsi. Hehe

Lalu saya renungkan lagi. Iya juga ya. Skripsi itu tidak terlalu penting juga. Yang paling esensial adalah si mahasiswa mampu berpikir dan menuliskan pun bisa dibentuk dari latihan-latihan dan penugasan tadi. 

Tanpa dihantui kewajiban membuat skripsi, si mahasiswa tanpa sadar sebetulnya sudah dibekali kemampuan membuat skripsi. Mengawali kuliahnya secara psikologis menjadi lebih bahagia. Ketakutan untuk membuat skripsi sudah hilang karena memang tidak ada dalam silabusnya. 

Langkah cerdas pengelola program. Mungkin ini menjadi bagian dari strategi untuk menarik mahasiswa internasional. Secara agregat, revenue minimal 70% berasal dari mahasiswa asing yang berkuliah. Tak heran banyak sekali program master disediakan bagi mahasiswa asing. Dan tanpa skripsi/tesis tadi.

Dunia kerja pun ya seperti itu juga. Dibutuhkan karyawan yang mampu membuat analisis pekerjaan yang ditugaskan padanya, dan mempresentasikan dalam bentuk laporan. That's it. 

Kasus bunuh diri mahasiswa karena stress skripsi

  • Oktober 2014: Seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara ditemukan tewas dengan posisi tergantung di pintu kamar kosnya di Medan. Korban bunuh diri diduga karena stres karena laptop hilang dan skripsi yang tak kunjung selesai.

Ilustrasi (bengkulutoday.com)
Ilustrasi (bengkulutoday.com)
  • April 2017: Seorang mahasiswa Universitas Kapuas di Kalimantan Timur, ditemukan tewas menggantung diri dengan menggunakan kabel. Korban diduga bunuh diri karena stres memikirkan skripsi yang ditolak dua kali.
  • Maret 2018: Seorang mahasiswa semester akhir Universitas Sriwijaya ini nekad mengakhiri hidupnya diduga karena depresi soal skripsi.
  • Januari 2020: Ditemukan seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, bunuh diri karena depresi, diduga karena kesulitan menyelesaikan skripsi. 

Deretan berita-berita ini membuat miris dan sangat disesalkan. Kita kehilangan generai penerus potensial gegara stress kuliah dan skripsi.

Terkonfirmasi oleh survei
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat menganalisis hasil survei 2019 yang dilakukan pada mahasiswa semester satu perguruan tinggi di Bandung. 

Hasilnya, ditemukan 30,5% mahasiswa depresi. Di antaranya 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, sedangkan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri. Tindakan mencoba bunuh diri merupakan puncak dari berbagai permasalahan yang dihadapi mahasiswa.

Bisa jadi mahasiswa merasa tak berguna. Hanya menjadi beban biaya bagi orangtua karena molor kuliahnya, akhirnya nekat mengakhiri hidupnya.

Mengurangi beban bimbingan bagi dosen
Tidak semua mahasiswa S1 menginginkan studi lebih lanjut ke jenjang tinggi. Ini juga menjadi alasan tidak begitu penting skripsi bagi mereka. Dengan adanya pilihan untuk lulus tanpa skripsi, tentu mengurangi beban dosen untuk bimbingan skripsi.

Dosen pun tidak perlu stress menghadapi mahasiswa yang setengah hati mengerjakan skripsi. Tidak perlu ada ungkapan skripsi 'sampah' atau membuang draft tulisan si mahasiswa ke tempat sampah. Mengurangi pula niat nakal mahasiswi atau dosen nakal yang terlibat affair atau pelecehan seksual ketika bimbingan skripsi.

Skripsi 'sampah' yang sempat viral (suara.com)
Skripsi 'sampah' yang sempat viral (suara.com)

Lebih sedikit yang dibimbing tentunya akan menaikkan kualitas skripsi itu sendiri. Ketimbang dosen membimbing 10 mahasiswa, 5 di antaranya ogah-ogahan. Lebih bagus 5 saja, yang memang serius.

Dosen tidak perlu terbebani dengan mahasiswa malas tadi. Biarlah yang 5 tadi tetap lulus, tetapi akan sulit ketika ingin kuliah lebih lanjut. Ini sekaligus meningkatkan kualitas calon mahasiswa pascasarjana nantinya.

Menakar untung rugi mengambil proyek akhir atau skripsi

Untuk mahasiwa yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang lebih tinggi, adanya skripsi menjadi penting. Mengapa? Karena pada prinsipnya jenjang pendidikan tinggi 'higher degree' harus memberikan kontribusi kebaruan ilmu. Yang mana ini dilakukan melalui penelitian-penelitian.

Jika pernah skripsi, tentu sudah mengalami fase meneliti secara sederhana. Menyelesaikan suatu masalah dalam kerangka pikir akademik. Berlatih pula menuliskan dalam bentuk paper atau karya tulis skripsi.  Saya katakan berlatih karena tulisan itu tidak diharuskan untuk terbit di jurnal ilmiah. 

Bagi alumni yang pernah mengerjakan skripsi tentu ada bahan cerita. Ketika menghubungi calon supervisor atau pembimbingnya. Ada yang jadi bahan wawancara. Dan calon supervisor bisa menilai bahwa calon mahasiswa nya memang layak untuk bergabung menjadi mahasiwa peneliti pada level yang lebih tinggi. Singkatnya skripsi atau tesis akan menjadi nilai plus bagi alumni tersebut jika lanjut kuliah lagi.

Bagaimana kewajiban skripsi di negara lain?
Tidak semua program dalam universitas luar negeri mewajibkan untuk membuat skripsi. Gelar kesarjanaan melalui sistem mengikuti mata kuliah 'by course' dan atau ditambah penelitian/skripsi 'by research'. 

Di Australia misalnya program S1 atau Bachelor umumnya merupakan coursework program tanpa skripsi, tesis, maupun penelitian. Mahasiswa dinyatakan lulus sepanjang sudah menyelesaikan sejumlah mata kuliah yang mereka harus ambil. 

Tentu hal tersebut dapat dilalui dengan ujian, presentasi, presentasi dengan grup, dan lainnya. Tetapi disamping itu, ada beberapa jurusan yang memang dalam pilihan mata kuliahnya diminta untuk melakukan proyek penelitian baik individual atau group. Mahasiswa tak perlu kalang kabut memikirkan judul skripsi serta menyiapkannya.

Program sarjana ini umumnya hanya berdurasi 3 tahun. Namun ada yang berdurasi 4 tahun dimana tahun terakhirnya adalah penelitian. Program 4 tahun tersebut adalah Bachelor of Engineering atau Architecture yang mensyaratkan mahasiswanya untuk mengerjakan skripsi setara 12 credit.

Mudah membedakan mana mahasiswa yang mengerjakan skripsi atau thesis pada tahun terakhirnya. Gelar Bachelor  ditambahkan (Hons) atau Honours, menjadi B.Sc (Hons). Jika tanpa skripsi, cukup B.Sc. Namun demikian, tetap sama-sama sarjana. Sama-sama berhak mendapatkan pekerjaan setelah selesai studi.

Untuk program Master di Australia terbagi menjadi 2 macam, yaitu: Master by Coursework dan Master by Research.  Mirip dengan perkuliahan Bachelor, mahasiswa master by coursework dianggap lulus jika sudah menyelesaikan setiap mata kuliah wajib dengan jumlah credits tertentu. Sedangkan Master by Research harus melakukan penelitian, dan dibelakang gelarnya akan ditambahkan (Hons).

Dalam sistem pendidikan Amerika, mirip dengan di Australia, program S1 nya tidak ada skripsi, cukup ujian semester saja. Mahasiswa bachelor dapat memilih tiga pilihan; (1) ujian skripsi atau tesis, (2) professional project, bisa dalam bentuk film dokumenter, tulisan jurnal, atau presentasi ilmiah, bisa juga berbentuk karya lainnya, atau (3) ujian komprehensif, biasanya berbentuk tulisan. 

Masih mirip dengan Australia, memang ada beberapa jurusan yang melakukan project. Biasanya, mahasiswa sosial seperti jurusan bisnis dan arts tidak diharuskan mengadakan project. Namun mahasiswa sains ataupun teknik diwajibkan mengerjakan project akhir atau skripsi. 

Mungkinkah pola by coursework ini mulai diadopsi secara nasional?
Mungkin hal ini bisa menjadi bagian dari modernisasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Saya jadi ingat tiga kata ketika mengikuti suatu diklat kepemimpinan. ATM: Amati Tiru Modifikasi. Rasanya boleh lah kita lakukan ini untuk sistem pembelajaran di kampus Indonesia. Amati yang bagus di luar sana, Tiru caranya, modifikasi sesuai kearifan lokal kita. 

Toh, beberapa kampus di Indonesia sudah mulai melakukan terobosan ini. Kampus Universitas Indonesia, pada program Ilmu Komunikasi, sudah memberikan  pilihan bagi mahasiswa untuk lulus. Lulus dengan skripsi, atau tugas karya akhir, atau memenuhi 146 sks. Bahkan yang boleh skripsi disyaratkan IPK minimal 3,5, hanya yang memang mampu dan berniat. 

Universitas Sebelas Maret Surakarta membolehkan mahasiswanya bisa lulus tanpa skripsi, asalkan sudah melakukan riset setingkat skripsi yang dilombakan. Di Malang, Institut Teknologi dan Bisnis ASIA, kampus swasta yang dipimpin oleh Risa Santosa, rektor termuda di Indonesia, berani melakukan terobosan.

Untuk lulus sarjana di kampus tersebut, tidak harus membuat skripsi. Namun jika mahasiswa berkeinginan meneruskan karir di dunia akademik atau peneliti, maka diwajibkan skripsi. Selainnya tidak perlu skripsi. Ini bukan kebijakan yang sembarangan, Risa Santosa mengklaim, sistem di Harvard lah yang diadopsi di sana. 

Bukan kebijakan 'kaleng-kaleng' tentunya. Bisa saja Menteri Nadiem akan menerapkannya. Apalagi dia tidak asing dengan sistem perkuliahan di luar negeri.

Tentu perlu kajian lengkap bagaimana yang paling pas penerapannya di Indonesia.  

Untuk meraih titel sarjana ya tidak juga harus dipusingkan skripsi. Apalagi kalo skripsi itu toh hanya memenuhi lemari perpustakaan saja. Dan ketika membuatnya pun mungkin saja ada pihak ketiga nya. Alias tidak dikerjakan sendiri. Lalu esensi skripsi itu menjadi sirna kan? 

Salam.

Tautan referensi: 1, 2, 3, 4, 5, 6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun