Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bulan Bolong

3 September 2020   00:14 Diperbarui: 3 September 2020   00:09 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di malam kelam ini, aku suka memandang kolong langit yang cerah
Melihat ke atas, membuatku serasa berlari di sebuah lapangan luas
Tak ada yang membatasi, tak ada yang menjepit kesana - kemari

Bintang - bintang sedang asyik bercengkerama, dan awan sedang berjalan - jalan dengan ceria
Kulihat mereka melintas tanpa menoleh kanan - kiri, lurus mengikuti jalur tersembunyi yang tak mampu kulihat
Para burung malam, atau mungkin kalong, sedang menggores padang luas itu
Entah apa yang mereka ukir, namun diriku yang jauh di bawah meyakini itu karya terbaiknya

Sebaik - baik manusia adalah yang memanusiakan manusia, dan sebaik - baik karya adalah yang bukan karya
Perlahan dan pasti, yang lama akan diganti yang baru
Burung dan kalong beriringan menuju dunia gelap, meninggalkan ukirannya terhapus awan
Awan dan bintang terus berjalan menuju alam bawah, menyisakan bulatan kuning dibelakangnya
Hingga tampaklah bulan bulat sebesar bumi, dan merah menyala bagai tersulut api

Bulan itu menyembul dari balik awan, dan berdiri tegak di hadapanku
Pandanganku penuh akan tubuhnya, mendongakkan kepalaku sekaligus menundukkan egoku karena segan akan kegagahannya
Aku merinding dan mematung, bagai bertemu dengan serigala raksasa
Sampai kusadar, ada yang tak lazim dengan dirinya
Bulan itu bolong

Bulan purnama bagai sebuah koin bulat sempurna, yang tak ada bercak seujung jarum pun
Bulan sabit bagai seorang penari balet, yang indah akan lekukan dan lengkungan luwesnya
Namun bulan ini bolong, tengahnya tidak ada, bagai sepotong donat yang padat di pinggir namun hitam menganga di pusat

Sekali ini dalam hidup baru kulihat ia, dan sebelum mati belum pernah kupandang bulan hingga jutaan kali
Aku takjub dengan kelangkaannya, sekaligus tak acuh dengan kelazimannya
Kutanya dia, "Bulan, kenapa kamu bolong?"
Ia meringis lalu berkata, "Tidak, kamulah yang bolong"

Kuamati seluruh bagian tubuhku, dari pucuk kepala hingga jempolan kaki
Namun tak kutemukan lubang sedikit pun
Kupikir diriku tak bolong, hanya tampak seperti vas yang jatuh ke lantai
Retak dan pecah berkeping - keping, sampai tak kenal diriku lagi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun