Mohon tunggu...
Daud Sihombing
Daud Sihombing Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa pascasarjana Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sehari di Cibeo

3 April 2016   15:32 Diperbarui: 3 April 2016   15:39 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum lampu jalan padam, perjalanan sudah dimulai dari Menteng menuju Stasiun Tanah Abang. Dari sana perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Duri menggunakan commuter line. Di stasiun itu saya bertemu dengan anggota rombongan lain. Dengan kereta ekonomi, perjalanan dilanjutkan menuju Stasiun Rangkasbitung. Butuh waktu sekitar 3 jam untuk sampai stasiun yang masih semrawut itu⎯termasuk pintu masuk stasiun yang belum teratur.

[caption caption="Stasiun Rangkasbitung"][/caption]Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan angkutan umum untuk menuju Desa Ciboleger. Selama 1,5 jam perjalanan tersebut, banyak sekali menjumpai keadaan jalan raya yang sangat buruk. Lubang jalan dimana-mana. Suasananya pun gersang dan kondisi udara sangat tidak baik, terutama berseliwerannya truk pengangkut pasir.

Sekitar pukul 12, akhirnya sampai di Desa Ciboleger. Terlihat ada 4 orang laki-laki berpakaian seragam⎯baju berwarna biru tua, membawa tas yang terbuat dari kain, lengkap dengan ikat kepala, namun tanpa alas kaki⎯sudah menunggu. Yang tertua mungkin berumur sekitar 60 tahun. Namanya Mang Aja. Desa tempat dia tinggal adalah tujuan perjalanan kali ini. Di Desa Cibeo, dia dan beberapa orang suku Baduy Dalam lainnya tinggal. Butuh 3 jam berjalan kaki⎯dan hanya bisa dengan berjalan kaki⎯dari Desa Ciboleger untuk sampai ke Desa Cibeo. 4 orang Baduy Dalam tersebut akan mengantar kami ke desa mereka.

[caption caption="Mang Aja"]

[/caption]Mang Aja tampak sudah terbiasa dengan para pendatang. Dia tak sungkan untuk memulai obrolan terlebih dahulu. Kondisi fisiknya tidak menurun walau dimakan usia. Langkahnya masih gesit walau jalannya agak pincang⎯yang menurut salah satu anggota rombongan, pincangnya Mang Aja disebabkan karena kakinya pernah tertimpa pohon.

Medan yang naik turun membuat kaki cepat lelah. Warna baju menjadi semakin gelap karena keringat. Tiap langkah menghasilkan haus. Mungkin keadaan ini hanya untuk “orang kota”. Di depan, 2 anak Baduy Dalam sama sekali tidak terlihat kelelahan⎯bahkan berkeringat. Mereka tampak santai sembari menunggu saya dan anggota rombongan yang sedang beristirahat. Saat perjalanan dilanjutkan, saya mencoba mendekat. Mereka seperti masih kikuk dengan pendatang.

“Ngarana saha?” saya mencoba membuka percakapan.

“Herman.” salah satu anak menjawab dengan nada pelan.

“Ai maneh?” saya bertanya pada anak yang satunya.

Sembari menunduk ia jawab, “Asep.”

Ternyata Herman ini adalah anak ke-2 dari Mang Aja. Sedang Asep adalah temannya yang tinggal di depan rumahnya.

“Meser dimana ieu teh?” tanya saya sembari menunjuk kalung yang dipakai Asep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun