Malam ini, 16 Agustus 2019. Tujuh puluh empat tahun yang lalu, 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Muda Jepang, Maeda tengah berlangsung pertemuan bersejarah antara Soekarno, Hatta dan Ahmad Subardjo di ruang tengah rumah bertingkat dua tersebut. Rumah Maeda yang sekarang terletak di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta tersebut sudah menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Pada waktu itu bertepan dengan bulan Ramadhan atau bulan puasa. Di buku "Butir-Butir Padi B.M. Diah," sebagaimana diungkapkan kepada saya/ Dasman Djamaluddin (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992) hal. 57, B.M.
Diah menjelaskan bahwa Bung Hatta yang berada di tempat naskah Proklamasi telah memesan makanan untuk sahur. Hari itu kaum Muslimin sedang melaksanakan puasa.
Di bawah tangga menuju ke lantai dua, memang terdapat ruangan kecil yang terbuka. Di sana waktu itu, Sayuti Melik disuruh Bung Karno untuk mengetik konsep naskah proklamasi tulisan tangan Bung Karno. Sekarang ini, para generasi muda yang berkunjung ke Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dapat juga menyaksikan patung Sayuti Melik sedang mengetik naskah Proklamasi yang disaksikan oleh B.M Diah.
Patung ini diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2005 dan saya waktu itu diundang menyaksikan peresmiannya oleh Kepala Museum waktu itu, Edy Suwardi.
Namun peran Sayuti Melik tidak hanya sekedar itu. Masih banyak jasa Sayuti Melik sebagai seorang pahlawan nasional dalam rangka perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir di Kadisobo, Rejodadi, Sleman, Yogyakarta pada 22 November 1908.
Ayah Sayuti Melik bernama Abdul Muin alias Partoprawito, seorang kepala desa di Sleman, Yogyakarta, sedangkan ibunya bernama Sumilah.
Sayuti Melik menikah dengan seorang wartawati sekaligus aktivis masa kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, Soerastri Karma Trimurti atau SK Trimurti.
Dari pernikahan tersebut, Sayuti Melik dan SK Trimurti dikaruniai dua orang anak, yaitu Heru Baskoro dan Moesafir Karma Boediman. Meninggal pada 27 Februari 1989 ketika berusia 80 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata di Jakarta Selatan.
Berikutnya Burhanudin Mohamad (B.M) Diah merupakan satu di antara tokoh bagian dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Diah waktu itu masuk Angkatan 45 dan pada malam 16 Agusutus 1945 beliau hadir dalam perumusan naskah Proklamasi, waktu itu ada 6 orang di dalam ruangan dengan Bung Karno,
B.M. Diah adalah wartawan, sehingga para tokoh itu perlu sekali akan informasi terbaru tentang kekalahan Jepang.
Setelah Bung Karno, Hatta dan Ahmad Subardjo berdiskusi tentang konsep naskah Proklamasi, maka dilakukan pengoreksian. Ada beberapa perkataan yang dicoret. Kata "pemindahan" diganti "penyerahan."Pada waktu ini terjadi diakusi lagi. Akhirnya kata "pemindahan" yang dipakai.
Juga kata "dioesahakan," diganti dengan "diselenggarakan."Pergantian kata kata ini menghapus kesan bahwa Proklamasi tersebut seakan akan dipaksakan.
Ada yang menarik mengenai konsep asli naskah Proklamasi tulisan tangan Bung Karno dengan pinsil hitam yang ditandatangani bersama Bung Hatta.
Setelah diketik Sayuti Melik, konsep tulisan tangan ini dibuang saja di lantai. B.M Diah yang sejak awal ikut menyaksikan pengetikan di sebuah ruang kecil di bawah tangga kediaman Laksamana Maeda, lalu memungutnya, di simpan di saku.Bertahun tahun dijadikan arsip pribadi.
Memang ada pertanyaan di mana disimpannya waktu itu? Di kantornya, harian "Merdeka" atau di rumahnya BM Diah ?
Yang jelas, teks asli itu sudah dibingkai ketika pada tanggal 19 Mei 1992, konsep asli tulisan tangan Bung Karno ini diserahkan B.M Diah kepada Presiden Soeharto di Bina Graha. Ikut menyaksikan Mensekneg Moerdiono dan Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Tjokropranolo.