Seperti penulis ungkapkan pada tulisan terdahulu, bahwa lebih baik golkar benar-benar mendukung proses hukum Setya Novanto dan menyarankan Setya Novanto menjadi Justice Collaborator yang penulis yakin pada ahirnya beban politik tidak hanya dipikul oleh Golkar. Argumentasinya sederhana, pembahasan terkait dengan E-KTP tidak dilakukan oleh aktor atu fraksi tunggal, hal ini juga terungkap pada persidangan-persidangan yang lalu.Â
Saat ini nampaknya beban itu hanya terpusat pada Setya Novanto, dan nampaknya kurang disadari oleh kalangan Golkar sehingga mereka yakin (atau mungkin pura-pura yakin) kalau terkait masalah Setya Novanto tidak berpengaruh pada prospek golkar pada pilkada maupun pemilu 2019. Beban yang sangat berat yang nampaknya harus dipikul oleh Setya Novanto sendiri inilah yang mungkin semakin meruntuhkan kekuatan fisik dan psikis Setya Novanto. Apalagi dengan serangan-serangan yang tertuju kepadanya pasca terjadinya kecelakaan. Jika hal itu terus terjadi, luka sekecil apapun dapat mengancam jiwa Setya Novanto.Â
Senakin lama Setya Novanto tidak mengungkapkan apa sesungguhnya yang terjadi, sesungguhnya tidak hanya membebani Setnov sendiri, namun, sekalai lagi juga akan membebani Golkar. Namun Jika Setnov mengungkapkan semua yang terlibat, maka hal itu akan mengurangi bebana bagi dirinya dan Golkar pun tidak akan sendirian diserang sebagai partai yang harus menanggung beban politik akhibat kasus E-KTP itu.Â
Sebagaimana kita telah ketahui dari  berita yang sudah beredar, pada  sidang pemeriksaan terdakwa Irman dan Sugiharto, keduanya mengakui adanya penyerahan duit kepada DPR yang dilakukan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi merupakan pengusaha yang berafiliasi dengan konsorsium pemenang proyek e-KTP. Uang itu diserahkan melalui pencairan empat termin proyek E-KTP. Sedang nilai uang yang diserahkan itu masing-masing adalah sebesar Rp 452 miliar, Rp 452 miliar, Rp 278 miliar, dan Rp 675 miliar. Penyerahan uang itu dilaporkan Anang Sugiana, direktur PT Quadra Solution, kepada Sugiharto, sehingga totalnya sekitar Rp. 1,9 T.  Yang menurut Irene, jumlah itu terlepas uang US$ 1,5 juta, yang diserahkan Andi Narogong kepada Sugiharto. Sugiharto juga mendapat tambahan US$ 300 ribu dari Paulus Tanos, Direktur PT Sandipala Arthapura.
Menyimak beberapa pemberitaan selama ini, dana E-KTP tersebut juga disinyalir mengalir ke beberapa pihak baik perorangan maupun lembaga/perusahaan. Beberapa penerima perorangan diantaranya , Gamawan Fauzi, Diah Agraeni, Drajat Wisnu Setyawan, Husni Fahmi, Anas Urbaningrum, Melchias Markus, Mirwan Amir, dll. Sedang perusahaan perusahaan yang tercantum dalam dakwaann Jaksa antara lain Perum PNRI, PT Sandipala Arta Putra, PT Mega Lestari Unggul dll. Sementara itu,  partai partai yang disebut sebagai penerima aliran dana E-KTP  yakni Partai Golkar, Partai Demokrat dan PDIP. Jaksa pun membeberkan besarnya uang yang mengalir ke tiga partai itu. yakni Partai Demokrat  menerima Rp 150 miliar, Partai Golkar Rp 150 miliar, PDI Perjuangan Rp 80 miliar dan partai lainnya Rp 80 milar," ujar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Irene Putrie dalam sidang dakwaan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, tanggal 9 Maret 2017.Â
Salah satu katagori pengertian korporasi menurut hukum pidana adalah  kumpulan orang yang terorganisasi yang berbentuk badan hukum. Batasan ini selaras dengan pengertian Partai Politik dalam Pasal 1 angka 1 UU Parpol. Dan tekanan bahwa Partai Politik sebagai badan hukum terdapat pada Pasal 3  ayat (1) UU Parpol " partai politik harus didaftarkan ke Kementrian untuk menjadi badan hukum". Pada bahasan ini cukup jelas bahwa partai politik termasuk dalam katagori korporasi bila ditengok dari UU Tipikor dan UU TPPU, artinya Partai Politik merupakan cakupan dari UU Tipikor.
Terkait dengan Partai politik (yang tercakup dalam koorporasi), berlaku ketentuan kepidanaan sebagaimana  ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.13 Tahun 2016. Dalam Perma itu, hakim menyatakan korporasi melakukan kesalahan yang dapat dipidana, bilamana: (1). Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi; (2) Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; (3)Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Apabila seluruh proses ini terbukti maka partai politik sebagai korporasi dapat dijerat dengan sanksi pidana pokok yakni denda maksimal Rp 100 miliar dengan menggunakan UU TPPU. Atau menggunakan dakwaan kumulatif multi door, yang menggunakan dua undang-undang sekaligus: UU Tipikor dan UU TPPU. Dalam kasus E-KTP ini, Jika terbukti benar terbukti adal aliran  dana ke partai partai, maka bukan hanya Partai Golkar yang kemungkinan diseret, namun ada partai-partai lain, sehingga secara politis Golkar tidak memonopoli julukan sebagai partai panadah dana korupsi tetapi juga partai-partai lainnya. Jika langkah ini yang diambil, memang akan menjadi langkah "barji bar beh" bubar siji bubar kabeh, atau strategy bumi hangus.Â