Jika tidak salah mengamati, penulis melihat sejak kasus kasus yang melibatkan mantan gubernur DKI yang juga mantan wagub dari Prrsiden Jokowi saat menjadi guvernur DKI, Presiden diposisikan brseberangan dengan umat Islam Indonesia  sebagai mayoritas yang merasa didzalimi melalui kasus kasus itu,  pada kondisi demikian, ketergelinciran TNI sebagaimana diingatkan panglima besar sangat mungkin terjadi ahibat permainan  lawan lawan presiden yang ingin memanacing di air keruh.  Sudah barang tentu, Sebagai manusia tawaran tawaran kepada militer terutama kepada panglina TNI dari partai tertentu untuk menghadapkannya dengan presiden  vis et vis, dapat saja menjadikannya tergelincir, namun jika TNI sadar bahwa terkait jati dirinnya sesuai UU No 34 tahun 2004 dan amanah Bapak TNI sendiri maka ketergelinciran itu tidak akan terjadi.Â
Di lain pihak, adanya oknum oknum sipil yang mencoba menarik figur figur TNI yang penuh pesona untuk meraih kemenangan partai politik atau kelompoknya pada hakekatnya nengingkari supremasi sipil dan demokrasi itu sendiri, sekaligus menunjukan ketidak percayaan dirinya sebagai elit elit sipil. Hal ini dapat saja tetjadi dengn alasan ada kran untuk itu. Dalam kadus AHY, tinggal menyatakan kundur atau menunggu pensiun beres. padahal, Â sekali lagi, Â untuk sampai pada figur penuh pesona berbagai simber daya dari rakyat seluruhnya telah memberikan konstribusi kepadanya.Â
Melihat hal demikian, keberadaan "kran" pembolehan "asal bukan TNI aktif" menurut hemat penulis petlu ditiadakan. Dengan demikian, bagi warga negara RI yang memilih menjdfi TNI dan telah mengangkat sumpah dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit dll, Pada Saat itu juga mewakafkan dirinya untuk menjadi patriot bangsa hingga merah putih menutupi jasadnya, tidak ada mantan patriot. meskipun secara formal sudah tidak aktif di kesatuannya. Dengan demikian, berarti. prajurit. patriot sebagai jiwa yang tak terhentikan oleh secarik surat purna tugas.Â
Disamping terkait kelestarian jiwa, mengholangkan  kehususan "asal bukan TNI aktif" juga terkait dengan budaya. Sebagaimana realitas yang ada, budaya korsa dalam tubuh militer sangat kuat. Hubungan antara senior yang sudah purna wirawan sekalipun dengan yunior yang masih aktif sangat kuat dan tidak perputus. Budaya korsa ini pada saat tertentu dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan.Â
Coba bayangkan, ketika ada kompetisi tiga calon dari tiga angkstan dan ketiganya memanfaatksn budays korsa ini. kompetisi bisa saja berjalan begitu panas diantara tiga angkatan dan tidak menutup kemungkinan menyeret ke arah konflik bersenjata, sebagaimana pernah terjadi sekitar G30S/PKI.Â
Dalam pandangan penulis,  supremasi sipil akan berjalan baik kalau kalangan militer baik aktif maupun non aktif tidak terlibat dalam proses demokrasi dalam makns tidak menjadi kontestan dalam proses demokrasi. Karena mereka yang non aktif pun, dengan budaya dan spirit korsa dapat saja menyeret yunior yunior mereka yang aktif, sehingga menjadikan proses demokrasi berjalan tidak sebagaimana mestinya, baik semua kandidatnya  dari mantan militer, apalagi kandidatnya berasal dari militer dan non militer. Betbagai proses demokrasi yang lalu tentu menjadi pelajaran yang sangat berharga.Â
Elit elit sipil yang hendak mendompleng meraih kepentingannya dengan mengusung militer atau mantan militer hendaknya tidak terus menyeret militer dan atau mantan militer terpancing turun ke gelanggang politik praktis,  sehingga jiwa patrioitnya tetap terjaga dan tidak terhapuskan hanya  karena untuk memenuhi kepentingan partai atau golongan politik kalian saja. Biarlah sekali mengucapkan sapta marga dan  sumpah prajurit serta janji-janjinya, TNI terus menjadi patriot yang menjunjung tinggi supremasi sipil hingga merah putih menyelimuti jasad mereka, sebagai lambang patriot sejati.Â