Sang mentari kini berada 38 derajat dari permukaan laut. Meninggalkan fase langit merah menuju kuning ke biruan.
Jalan utama tak lagi sepi. Cukup menggeliat dengan porsi ideal untuk ukuran Gili Trawangan.
Lalu-lalang orang jogging, bersepeda, berkeliling dengan Cidomo, kerap terlihat. Ada yang hanya sekedar berolahraga santai, ada juga yang saking semangat sampai kaos mereka basah banjir keringat membentuk huruf 'V'.
Di tengah laut sana, aku mendapati sebuah boat melaju tenang. Banyak orang yang menaiki kapal kayu itu. Duduk di sisi kanan-kiri saling berhadapan. Sementara bagian tengah dikosongkan. Mungkin alat-alat perlengkapan ditaruh di sana. Kebanyakan darinya mengenakan pakaian selam berwarna gelap.
Melihat para peselam itu, aku jadi teringat akan satu spot diving di sekitar sini yang membuatku terpesona.
Jadi di dasar lautan yang tak begitu dalam, mungkin 5 -- 10 meter, ada sekumpulan patung-patung berdiri berderet dengan pola rapih yang melingkar. Wujud patungnya sendiri seketika membawa lamunanku pada Dewa -- Dewi Yunani.
Sang peselam, yang selama ini ku lihat berseliweran di sosmed, tidak juga mengenakan wet suit lengkap bertabung oksigen. Hanya ber-bikini two piece, memakai goggles, pipa snorkel dan sepasang fin.
Footage yang mereka ambil, si peselam ber-pose di titik tengah atas dari patung-patung itu. Ada yang berakrobat terlentang membentuk huruf 'O', ada yang posisinya serupa garis miring pada tuts keyboard, seperti sedang berenang menuju permukaan dan lain sebagainya.
Bebas sih, intinya dibuat se-estetik, se-kreatif mungkin sesuai selera.
NAH ... Aku juga ingin bikin foto seperti itu!
Tapi boro-boro ...
Dari yang sudah-sudah, tiap kali aku free dive tanpa alat apapun di pinggiran pantai agak ke tengah'an dikit, adanya aku jadi semacam 'beacon buoy'. Pelampung suar --boleh tolong di googling biar kebayang bentuknya--. Itu lho, alat yang terapung-apung di laut, yang warnanya kalau ngga dibikin merah pekat nyolok mata, ya orange biasanya.
Permasalahannya ... Bokong ku ngga mau tenggelem! Nimbul melulu bawa'annya di permukaan. Padahal badanku udah nukik, beneran nukik se-nukik-nukiknya macam jarum pentul, tapi ya tetep aja tuh ngapung.
Kan jadinya lucu. Kaki nyepak-nyepak langit tanpa arti, bagian pinggang ke kepala nyebur di dalem air.
Apa kudu pakai sabuk pemberat dulu kali ya? Atau mungkin ada teknik yang mesti ku pelajari? Entah lah.
Eniwey ...
Akses masuk resort itu diapit oleh area dapur (Timur) dan beverages (Barat). Dua divisi ini lagi sibuk-sibuknya karena jam breakfast.
Formatnya open kitchen. Siapa pun bisa melihat leluasa bagaimana proses mereka mengolah makanan dan minuman.
Uap panas membubung lantaran air dalam panci capai titik didih. Frying pan timbulkan suara desis saat menggoreng. Di mana bagian tepi dari makanan yang diolah itu meletup-letup renyah membentuk gumpalan-gumpalan kecil sebesar 2 -- 3 milimeter.
Aroma sedap tercium di sekitaran dapur.
Sedangkan tim Beverages tak kalah sibuk, blender berputar kencang hancurkan potongan-potongan buah segar. Disusul kemudian suara coffee grinder yang menggiling bijih kopi, suara melengking dari susu murni yang di steam, sampai coffee machine seharga satu unit mobil, yang berdengung rendah hasilkan krema kopi yang mengalir indah pada porcelain cup putih.
"Table eight, table two, table six, out" ujar salah satu diantara mereka.
Seiring mentari yang kian meninggi, paras elok sang pulau mungil mulai tersibak. Tak terkecuali resort itu.
Rumput-rumput hijau terhampar layaknya permadani. Mengingatkan ku pada lapangan golf. Tekstur rumputnya halus dan empuk bila telapak kaki kita memijaknya.
Lajur pejalan kaki --path way-- terbuat dari batuan alam warna putih gading. Dibikin sedikit berkelok estetik. Jauh dari kesan monoton.
Di sana, banyak ditumbuhi pepohonan. Kelapa paling dominan. Disusul kemudian pohon palem. Tiap room diberi jarak cukup lega. Tidak saling berdempetan antara satu dengan lainnya.
Bila sore menjelang, buah-buah dari kelapa itu bisa dipetik. Nanti akan ada staff khusus yang memanjat mengambilkan. Tentu tidak dibiarkan kosongan, tim lain akan men-set-up serupa piknik di taman. Lengkap dengan bantal dan camilan nya sebagai complimentary.
Suasana asri dan tenang tercipta. Tiada musik yang diputar. Kicau nyanyian burung-burung bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan lah sang pelantun sejati.
Bergerser ke area belakang, burung-burung merpati melesat cepat sejajar dengan tingginya pohon-pohon kelapa. Kawanan itu bermanuver gesit antara dahan-dahan yang melengkung.
Insting daripada burung-burung merpati itu seperti menguasai betul medan yang mereka jelajahi. Bila ingin main aman, tentu mereka akan terbang lebih tinggi dari pohon-pohon kelapa. Usut punya usut, rumah mereka berada satu kawasan dengan resort ini. Dipelihara dari kecil hingga tumbuh dewasa.
Adapun di daratan, di bawah persis dari radius putar merpati-merpati unjuk kebolehan, bebek-bebek dengan bokongnya yang megal-megol berhamburan riang menuju genangan air bekas hujan semalam. Bulu-bulu halusnya dibasahi merata dengan paruh pipihnya. Kepalanya lentur masuk ke sela-sela sayapnya. Satu dari mereka yang merasa cukup basah, lantas merentangkan penuh kedua sayap dan mengibas-ngibasnya dengan kekuatan. Hembus angin yang dihasilkan dari dua sayap itu membuat rumput-rumput bergoyang dan menimbulkan riak kecil air.
Balik lagi ke depan, tamu-tamu yang datang untuk breakfast langsung diarahkan menuju pantai. Di sanalah dining area berada. Boleh duduk di kursi kayu, sofa maupun bean bag.
Menapak pada permukaan halus pasir pantai putih. Landscape nya berupa lautan berwarna turquoise dengan latar background pegunungan yang menjulang menyentuh birunya angkasa, antara satu gunung dengan gunung lain saling sambung-menyambung dengan bentuk kontur sedemikian rupa.
Di seberang sana, pulau itu bernama Pulau Lombok.
Gulungan ombak datang-pergi silih berganti. Buih-buih tercipta disertai alun suara yang berdebur. Semilir angin menyentuh kulit kombinasi hangatnya sinar mentari yang menyapa kala menyantap hidangan yang tersaji.
Pandangan terpaku pada layar ponsel, jari-jemari asik scroll sana-sini, hamburkan moment murah percuma, tampak nya tak berlaku di sini. Nyaris semua orang yang ku perhatikan sedang asik menikmati jalannya waktu dengan caranya masing-masing.
Seorang gadis duduk di sebuah hammock putih menyita perhatian ku. Ia begitu larut pada jalan cerita pada buku yang sedang dipegangnya.
FB service kian hilir-mudik seiring meningkatnya traffic tamu-tamu yang ingin sarapan. Tray-tray diangkat membawa sejumlah pesanan untuk disajikan. Sejauh pengamatan ku, dari mereka duduk hingga menu-menu keluar lengkap di atas meja tak terpaut lama, sekitar 8 - 14 menit berselang. Yang mana itu merupakan prestasi baik.
Beberapa poin yang jadi catatan dari pengamatanku sejauh ini,
*. Tiap kali para staff berinteraksi dengan para tamu, mereka menyebut nama. Yang mana bisa ku artikan mereka diajarkan untuk mengingat tiap nama tamu dan -mungkin- nomor kamarnya juga. Itu bagus. Tamu-tamu yang bermalam di sana jadi merasa di notice, merasa diperhatikan. Tegur sapa tidak perlu ditanya lagi, itu sudah otomatis jadi suatu kewajiban mutlak.
*. Sense of belongin mereka tinggi. Ada sejumlah gesture dari para staff yang tertangkap oleh mataku. Bisa jadi terlihat sepele tapi berkesan untuk ku. Tidak hanya sekadar bekerja mencari nafkah semata, tetapi juga ada rasa ikut memiliki dan menjaga.
Ngomong-ngomong, aku sudah selesai sarapan. Puas juga nikmati pemandangan pantainya. Waktu ku lanjut kerja. Ada 3 room type yang mesti di execute.
Sampai ketemu di artikel berikutnya...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI