Menariknya, media sosial juga telah menjadi panggung utama bagi kampanye politik, promosi produk, bahkan pembentukan citra diri. Fenomena "gemoy" dalam kampanye Prabowo Subianto, misalnya, menunjukkan bagaimana citra politik bisa dibentuk ulang melalui konten ringan dan menghibur. Di sisi lain, munculnya influencer yang memonetisasi konten sensual atau kontroversial juga memicu perdebatan etika yang belum selesai.
Kita juga menyaksikan bagaimana TikTok menjadi ruang baru bagi edukasi, advokasi, bahkan terapi emosional. Banyak konten yang membahas kesehatan mental, spiritualitas, dan motivasi hidup, disajikan dalam format video pendek yang mudah dicerna. Tapi di balik itu, algoritma juga bisa membawa kita ke dalam gelembung informasi yang sempit, memperkuat bias dan mengurangi keberagaman perspektif.
Mungkin ini saatnya kita tidak lagi menempatkan media sosial sebagai satu-satunya jendela dunia. Kita bisa tetap menikmati TikTok dengan tarian dan opini jenaka, tapi dengan kesadaran bahwa tidak semua konten layak dipercaya begitu saja. Kita bisa tetap aktif di IG dan X, tapi tak lantas menolak informasi yang datang dari koran atau website resmi. Karena menjadi netizen cerdas bukan berarti memusuhi viralitas, melainkan memahami kapan harus percaya, dan kapan sebaiknya bertanya lebih dulu.
Dan, jika algoritma hari ini menyajikan dunia seperti yang ingin kita lihat, maka tugas kita adalah belajar melihat dunia seperti apa adanya. Termasuk lewat sumber informasi yang kadang dianggap membosankan, tapi justru menyimpan kedalaman dan tanggung jawab yang kita butuhkan.
Kita tidak harus kembali ke masa lalu. Tapi kita bisa menyatukan kecepatan digital dengan kedalaman jurnalistik, agar opini kita tidak hanya terbentuk oleh likes dan views, tapi juga oleh pemahaman dan empati. Sebab, di era digital yang riuh, memilih siapa yang kita percaya adalah bentuk paling sederhana dari kebijaksanaan.
Kita tidak harus kembali ke masa lalu. Tapi kita bisa menyatukan kecepatan digital dengan kedalaman jurnalistik, agar opini kita tidak hanya terbentuk oleh likes dan views, tapi juga oleh pemahaman dan empati. Sebab, di era digital yang riuh, memilih siapa yang kita percaya adalah bentuk paling sederhana dari kebijaksanaan.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk mengasah kembali cara kita menyaring kabar. Bukan dengan sikap curiga berlebihan, tapi dengan jeda kecil sebelum percaya sepenuhnya. Coba tanyakan: siapa yang menyampaikan informasi ini? Apakah ada sumber atau bukti yang mendukung? Apakah ada kemungkinan ini sekadar konten viral yang dibuat untuk keuntungan, bukan kebenaran?
Menjadi pengguna media sosial hari ini adalah menjadi penjaga gerbang informasi. Kita memang tak bisa menahan laju algoritma, tapi kita bisa memutuskan mana yang layak kita beri tempat dalam pikiran dan hati. Tak perlu selalu serius, cukup lebih sadar. Sebab, di balik setiap konten yang kita bagikan, ada jejak yang membentuk dunia digital yang kita warisi bersama.
Dan barangkali, kebaikan kecil dimulai dari keputusan sederhana: untuk tidak langsung percaya, tapi mau mencari tahu lebih dulu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI