BERBURU BUKU, MENGEJAR MIMPI
Oleh: Darju Prasetya
Matahari Bojonegoro begitu terik siang itu. Namun, semangatku tak surut untuk menyusuri jalanan kota mencari "harta karun" berupa buku-buku yang bisa menuntun langkahku menjadi penulis. Ya, di awal perjalanan karir menulis ku kala itu memang sedang meledak-ledak. Setiap kali membaca tulisan-tulisan inspiratif di koran, ada desiran halus yang menggetarkan jiwa - sebuah bisikan yang mengatakan bahwa suatu hari nanti, aku juga ingin tulisanku bisa menggetarkan pembaca seperti itu.
Perjalanan menulis memang tak pernah sederhana. Ia seperti mozaik yang tersusun dari kepingan-kepingan pengalaman, pembelajaran, dan tentu saja, inspirasi dari para penulis yang sudah lebih dulu mengukir jejak. Setiap kali membaca tulisan yang memukau, aku selalu memperhatikan dengan seksama: bagaimana mereka memainkan kata-kata, bagaimana mereka menganyam kalimat demi kalimat menjadi sebuah karya yang mengalir bagai air, dan bagaimana mereka bisa menyentuh hati pembaca dengan begitu dalam.
Di pojok jalan kota Bojonegoro, sebuah toko buku menjadi tujuanku. Meski agak kecil, toko ini terkenal memiliki koleksi buku yang cukup lengkap. Sayangnya, ada satu hal yang membuatku kurang nyaman: kebiasaan pegawai toko yang langsung menyergap pengunjung dengan pertanyaan "Mau cari buku apa?" begitu kita melangkah masuk. Bagi pemburu buku sepertiku, browsing santai di antara rak-rak buku adalah sebuah ritual yang sakral. Kita butuh waktu untuk membiarkan mata dan hati berkelana, membiarkan intuisi menuntun kita pada buku yang tepat.
Namun hari itu, sepertinya dewi fortuna sedang berpihak padaku. Di tengah ketidaknyamanan itu, mataku menangkap sebuah buku berukuran mungil dengan sampul putih berlatar belakang biru yang begitu memikat. "Creative Writing", begitu judulnya tertera. Yang membuat jantungku berdebar lebih kencang adalah nama penulisnya - seorang penulis yang esai-esainya sering kubaca di Jawa Pos, koran terbesar di Jawa Timur yang selama ini menjadi kiblat impianku.
"Ini dia!" bisik hatiku penuh sukacita. Rasanya seperti menemukan kompas di tengah perjalanan panjang menuju cita-cita. Buku ini bukan sekadar buku - ia adalah jembatan yang mungkin bisa mengantarkanku lebih dekat pada mimpi untuk melihat tulisanku terbit di halaman koran yang sama.
Pengalaman berburu buku itu mengingatkanku bahwa perjalanan menulis adalah sebuah proses yang penuh kejutan. Kadang kita harus melewati situasi yang tidak nyaman, seperti cuaca terik atau pelayanan toko yang kurang ideal. Namun di balik itu semua, selalu ada kemungkinan menemukan sesuatu yang berharga - sebuah buku yang bisa menjadi pembuka jalan menuju mimpi-mimpi kita.
Setiap penulis besar yang kukagumi pasti juga pernah melalui fase seperti ini: fase di mana mereka dengan penuh semangat mencari "guru" melalui buku-buku, fase di mana mereka dengan tekun mempelajari cara menulis yang baik, dan fase di mana mereka bermimpi melihat karya mereka dinikmati pembaca. Yang membedakan mereka dengan penulis lain mungkin adalah kegigihan untuk terus belajar dan berproses.
Buku "Creative Writing" yang kutemukan hari itu mungkin tak akan langsung mengubahku menjadi penulis handal. Namun ia adalah pengingat bahwa mimpi-mimpi besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil: dari kesediaan untuk belajar, dari keberanian untuk mencoba, dan dari ketekunan untuk terus mengasah diri. Karena pada akhirnya, menulis bukan sekadar tentang merangkai kata - ia adalah tentang menuangkan jiwa ke dalam tulisan yang bisa menyentuh jiwa-jiwa lain.
Sepulang dari toko buku, aku langsung menenggelamkan diri dalam halaman demi halaman buku Creative Writing yang baru kubeli. Setiap paragraf terasa seperti percakapan intim dengan seorang mentor yang memahami betul pergulatan seorang calon penulis. Ada bagian yang membahas tentang pentingnya membaca sebagai fondasi menulis, tips mengembangkan ide tulisan, hingga strategi mengirimkan naskah ke media massa.