"Berlatihlah dengan tekun. Jika kamu sukses maka Manhattan tidak lagi mustahil untuk dikunjungi."
Mendung kembali membingkai wajahnya. Rasa marah paling murka memang masih menyelimuti jiwanya. Perihal hati yang jadi pembenci telah menjelmakan kesumat dan serapah kepada orang tuanya. Dalam diam, hatinya masih sering mengumpat atas ketidakadilan dewa-dewi. Mengapa kutukan itu harus dia tanggung seorang diri?
"Tuhan menginginkanmu jadi laki-laki tangguh. Berdamailah dengan takdir."
Petuah Om Agum bagai azimat. Lambat laun Nathan dapat mengendalikan energi negatif yang keluar setiap kali marah, dendam, kecewa dan kesal muncul.
Tanpa terasa profesi sebagai penari barongsai telah digeluti oleh Nathan selama empat tahun. Seni beladiri yang dia tekuni sejak kecil sangat membantu kelenturan tubuhnya. Kegesitan gerak disertai atraksi yang mumpuni mampu menyihir penonton di setiap pertunjukkan. Dia juga selalu sukses menyabet gelar juara pada berbagai pertandingan barongsai.
Nama Nathan melangit sebagai penari barongsai terbaik. Hoki Imlek tahun ini semakin menampakkan diri dalam sinar terangnya. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) mengukuhkan dia dan teman-temannya sebagai atlet barongsai yang akan maju pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh tahun depan.
"Gong Xi Fa Cai, Koh Nathan!"
Sebuah kejutan berupa perayaan Imlek dari anggota sanggar dan keluarga Om Agum merupakan sebentuk toleransi level nirwana yang tidak ternilai harganya.
Nathan seolah kembali menjadi anak kecil yang meraung-raung di pelukan Mbok Nah. Tuhan telah mengganti keharmonisan yang hilang dengan berbagai keajaiban.
"Ini hasil kerja kerasmu, Nathan. Segera tunaikan janjimu. Antarkan abu Non Tata ke Mahanttan."
"Om, terima kasih telah membimbingku selama ini. Tanpa kebaikan hati semuanya, aku pasti telah menjadi gembel yang tidak berguna."