Mohon tunggu...
Danu Widya Nugroho
Danu Widya Nugroho Mohon Tunggu... Administrasi - PNS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

https://www.instagram.com/danu_w_nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"X-Men: Dark Phoenix", Penutup Seri X-Men

12 Juni 2019   09:44 Diperbarui: 12 Juni 2019   21:27 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film X-Men: Dark Phoenix mengambil setting satu dekade setelah event X-Men: Apocalypse atau tepatnya tahun 1992. Di masa tersebut, dunia sudah berubah banyak dari apa yang kita lihat di film sebelumnya. 

Salah satunya, masyarakat tidak lagi mengusik, mengganggu atau bahkan mengisolir para mutan seperti sebelumnya. Sebagai gantinya, X-Men: Dark Phoenix menunjukkan setting di mana mutan serta manusia telah hidup harmonis dan pemerintah Amerika Serikat memperkerjakan X-Men sebagai "superhero" mereka.

Bagaikan agen pemerintah, X-Men bertanggung jawab atas misi-misi sulit yang dirasa oleh pemerintah tidak mampu dikerjakan manusia biasa. Misi terbaru mereka, yang menjadi pembuka dari X-Men: Dark Phoenix, adalah menyelamatkan para astronot yang terancam serangan solar flare di luar angkasa. Professor Charles Xavier tanpa ragu menerima misi tersebut meski telah mendapatkan peringatan dari Raven / Mystique dan Hank McCoy / Beast mengenai resikonya.

Sebagaimana dilihat dari film yang tayang pada acara screening film X-Men: Dark Phoenix yang diadakan pada Selasa, 11 Juni 2019 di Cinema XXI Senayan City, misi tersebut tidak berjalan mulus.

 Meski para astronot berhasil diselamatkan, Jean Grey / Phoenix (Sophie Turner) terpapar (dan bahkan menyerap) radiasi solar flare yang mengancam para astronot tersebut. Selanjutnya sudah bisa diduga, Jean Grey tetap hidup walau solar flare yang menghajarnya membuatnya menjadi bom waktu berjalan.

Salah satu permasalahan di film ini sudah keliatan sejak Jean Grey mendapatkan kekuatan phoenix-nya. X-Men: Dark Phoenix melupakan sebagian besar pengembangan karakter Jean Grey yang sudah terjadi di X-Men: Apocalypse. Sutradara Simon Kinberg sepertinya lupa, atau mungkin sengaja melupakan, bahwa Jean Grey sudah menunjukkan kemampuan phoenix-nya sejak di X-Men: Apocalypse. Dengan memberi Jean Grey origin baru, apa yang terjadi di X-Men: Apocalypse menjadi sia-sia.

Setelah dibuka dengan baik pada awal film, menjelang babak kedua, kisahnya justru mulai menurun, terutama sejak karakter Vuk yang diperankan oleh Jessica Chastain diperkenalkan. Penonton mungkin tidak lagi memerlukan latar karakter protagonis, namun sosok antagonis ini tidak memiliki karisma sama sekali dengan bermodal rambut putih dan wajah yang dingin, serta gaya akting kakunya. 

Tampaknya Jessica Chastain tersia-sia dalam perannya sebagai alien bernama Vuk yang mengambil alih tubuh manusia dan berteman dengan Jean Grey. Vuk berencana menggunakan kekuatan Jean Grey agar alien bisa mengambil alih Bumi. Dengan ekspresi pasif sepanjang film, Vuk tidak pernah nampak culas atau berbahaya.

Fokus kisahnya kini hanya pada karakter Jean Grey dan memang terasa dalam beberapa momen merupakan sedikit pengulangan alur kisah X-Men: The Last Stand yang juga fokus pada karakter yang sama.

Berbeda dengan film-film X-Men sebelumnya, kisahnya berjalan dengan tempo lambat dengan orientasi ke drama ketimbang aksi. Alur kisahnya yang terlalu mudah diantisipasi juga membuat perjalanan adegan demi adegan terasa melelahkan karena tak ada kejutan sama sekali. 

Bahkan satu momen besar dalam filmnya, emosionalnya terasa kurang mendalam di sini, sesosok penting ini bagai dianggap angin lalu. Satu lagi, musik tema X-Men juga hilang dan komposer kondang, Hans Zimmer menggantikannya dengan musik tema yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Tak buruk memang, hanya terasa out of tone dengan film-film X-Men sebelumnya.

Bujet US$ 200 juta ditambah pengalaman film-film X-Men sebelumnya, semestinya bukan hal yang sulit untuk menampilkan aksi-aksi CGI yang mengesankan. Satu aksi memukau disajikan dalam film X-Men: Dark Phoenix adalah aksi kereta api yang tengah berjalan. Rasanya ini boleh dibilang salah satu bagian aksi terbaik dalam film X-Men: Dark Phoenix ini. Efek visualnya sungguh sangat luar biasa. 

Sementara bicara sosok karakternya ada satu yang amat menonjol, yakni Erik Lehnsherr / Magneto. Masa lalunya yang suram terus menghantui pikirannya dan kemampuannya menggerakkan potongan logam-logam raksasa. Sosok ini, seperti sebelumnya diperankan kuat oleh Michael Fassbender dengan karismanya yang khas. Pihak 20th Century Fox  sudah sepatutnya membuat film solo untuk karakter Erik Lehnsherr / Magneto ini. 

Sementara sang bintang, Sophie Turner sebenarnya bisa tampil lebih mengintimidasi dan garang sebagai sosok Phoenix, namun sayangnya kurang. Akting Sophie Turner sebagai Jean Grey / Phoenix seharusnya menunjukkan pergolakan emosional saat dia dihadapkan dengan pilihan: apakah akan menggunakan kekuatannya untuk kebaikan atau kejahatan. Sayangnya, di sini dia tidak menunjukkan kecerdasan dan kedalaman karakter yang pernah dia tampilkan saat memerankan Sansa Stark di serial Game of Thrones.

Keunggulan lainnya juga didapatkan dari akting James McAvoy yang memerankan Professor Charles Xavier. Akting kemampuan mengendalikan pikirannya bisa membuat kekuatan mental tampak dinamis.

Charles Xavier dan Magneto ada di X-Men: Dark Phoenix bersama dengan karakter-karakter lain yang sudah tak asing lagi. Ada Jennifer Lawrence sebagai Raven / Mystique yang dapat berubah bentuk, yang mencoba menjadi mentor bagi Jean Grey. Nicholas Hoult sebagai Hank McCoy  alias the Beast (kadang terlihat sebagai manusia normal, di lain waktu biru dan berbulu). 

Tye Sheridan (yang sebelumnya memerankan Wade Watts di film Ready Player One) memerankan kekasih Jean Grey, Scott Summers atau Cyclops yang bisa menembakkan sinar perusak kuat dari matanya. Sayangnya, karakter-karakter ini hanya melintas dalam jalinan cerita tanpa ada koneksi mendalam yang seharusnya menjadikan mereka sebuah tim, yang seringkali terbelah oleh persaingan.

Alur utama cerita film ini sangat sederhana sehingga nyaris bisa dibilang tidak ada alur sama sekali. Kilas balik kilat ke trauma di masa kanak-kanak Jean Grey membawanya ke sekolah khusus untuk mutan milik Charles Xavier. Dalam adegan awal, Jean jahat melemparkan mobil-mobil polisi ke udara, menghancurkan rumah-rumah dan membunuh karakter utama yang dicintai. Setidaknya untuk saat ini, karena siapa yang bisa memastikan seorang karakter benar-benar mati dalam kisah saga superhero?

Pertempuran yang lebih besar terjadi di kota New York, di mana Magneto, Charles Xavier dan anggota X-Men lainnya telah melacak Jean Grey dan Vuk. Kekuatan Magneto mengangkat kereta bawah tanah keluar dan melemparkannya sampai meluncur ke aula depan sebuah bangunan mewah di seberang Central Park. Layar bersinar dengan bola api energi setiap 10 menitan, tetapi efek khusus yang lebih baik dimunculkan pada wajah Jean Grey.

Ketika kekuatan gelapnya muncul, tanda kecil seperti petir muncul di wajahnya, seolah-olah mukanya diretakkan oleh pembuluh darah keemasan. Matanya berubah emas dan bersinar. Ini visual yang menyeramkan dan efektif. Setidaknya Jean Grey terlihat jahat, bahkan jika Sophie Turner tidak melakukan apa pun di balik topeng itu.

Film X-Men: Dark Phoenix menghadirkan tema-tema yang banyak diandalkan oleh film aksi-superhero. Ada pertanyaan tentang bagaimana menggunakan kekuatan manusia super, diimbangi oleh usaha memanusiawikan sebuah tim superhero sebagai sebuah keluarga.

Apakah keluarga ini akan bertahan atau pecah? Pada film-film X-Men sebelumnya yang lebih baik, terutama X-Men: First Class (2011), penonton diberi kesempatan untuk merasa terlibat dengan isu-isu ini dan penasaran dengan akhir ceritanya. 

Di sini, sulit untuk merasa terlibat ketika karakter-karakternya sendiri tampak begitu terpisah. Sesekali memunculkan kecerdasan dan kesadaran sejarah merek X-Men nya.

 Ketika Magneto bertemu Charles Xavier lagi, teman lama dan saingannya itu mulai menjelaskan mengapa mereka harus menyelamatkan Jean Grey daripada membunuhnya. Magneto mengatakan: "Selalu ada pidato". Dan Raven membentak Charles Xavier, "Ngomong-ngomong, para perempuan selalu menyelamatkan para pria di sekitar sini. Anda bisa mempertimbangkan mengganti nama menjadi X-Women."

Semua tentang X-Men: Dark Phoenix memiliki tone berbeda dengan film-film X-Men sebelumnya yang sekaligus mengakhiri seri X-Men. Hak cipta karakter X-Men yang kini telah dimiliki Disney tentu memungkinkan untuk ditulis ulang untuk bisa masuk dalam Marvel Cinematic Universe. 

Bagaimanapun juga, seri X-Men telah mencatat sejarah serta menghasilkan beberapa film superhero berkualitas, macam Deadpool dan Logan. Kita juga masih menanti satu film lagi dalam seri ini, film The New Mutants yang seharusnya dirilis tahun ini, namun diundur rilisnya hingga April tahun depan. Walau pesimis tapi kita lihat saja, siapa tahu ada kejutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun