Sejarah Kelam Yang Terlupakan
Globalisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kelam pembunuhan massal pada tahun 1965. Setelah kudeta yang didukung oleh AS dan Inggris, rezim Suharto membantai lebih dari satu juta orang yang dituduh sebagai komunis. Pembunuhan massal ini membuka jalan bagi masuknya investasi asing dan korporasi global ke Indonesia.
Pada tahun 1967, konferensi di Swiss yang disponsori oleh Time-Life Corporation mempertemukan para pemimpin bisnis global dengan pejabat Indonesia. Dalam pertemuan ini, mereka merancang kebijakan ekonomi yang menguntungkan korporasi asing, sementara rakyat Indonesia tetap miskin. Tidak ada yang membahas pembunuhan massal yang terjadi dua tahun sebelumnya. Bagi korporasi global, Indonesia adalah "hadiah terbesar di Asia," dengan sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja murah.
Protes Global terhadap ketidakadilanÂ
Gerakan protes terhadap globalisasi telah menyebar ke seluruh dunia, dari Seattle hingga Jakarta, dari London hingga Genoa. Orang-orang menuntut keadilan ekonomi, penghentian privatisasi, dan penghapusan utang negara miskin. Mereka menolak sistem yang mengutamakan keuntungan korporasi di atas kesejahteraan rakyat.
Di Indonesia, gerakan ini semakin kuat setelah jatuhnya rezim Suharto. Rakyat menuntut pertanggungjawaban atas korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama puluhan tahun. Mereka juga menolak kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dianggap merugikan rakyat.
Â
Tuntutan Untuk PerubahanÂ
Gerakan anti-globalisasi menuntut perubahan sistemik. Mereka menyerukan penghapusan utang negara miskin, pengakhiran dominasi IMF, Bank Dunia, dan WTO, serta penciptaan sistem perdagangan dan pembangunan yang lebih adil dan demokratis. Mereka percaya bahwa globalisasi, dalam bentuknya saat ini, hanya menguntungkan segelintir elit dan korporasi global, sementara rakyat kecil semakin terpuruk.
Indonesia, dengan segala kekayaan alam dan potensinya, seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana globalisasi bisa membawa kemakmuran bagi semua. Namun, selama sistem ekonomi global masih didominasi oleh kekuatan korporasi dan lembaga keuangan internasional yang tidak demokratis, mimpi ini akan sulit terwujud.
Kesimpulan