12 Maret 1998. Di sebuah gedung tua di Jalan Pangeran Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat-markas Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-seorang pemuda bernama Herman Hendrawan baru saja menyelesaikan konferensi pers bersama Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD). Beberapa jam kemudian, ia menghilang. Sudah 27 tahun sejak hari itu, namun tak ada satu pun kabar kepastian tentang keberadaannya.
Herman Hendrawan bukanlah nama asing di kalangan aktivis pro-demokrasi tahun 90-an. Lahir di Pangkal Pinang pada 27 Mei 1971, Herman dibesarkan dalam lingkungan Muslim yang taat dan dikenal aktif sejak masa sekolah. Tahun 1990, ia diterima sebagai mahasiswa Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.
Di kampus, Herman tak hanya dikenal cerdas secara akademik, tapi juga vokal menyuarakan isu-isu ketidakadilan. Ia menggagas berbagai diskusi tentang sistem demokrasi, nasib buruh yang tercekik upah murah, petani yang digusur dari lahannya, serta bentuk-bentuk represi negara terhadap rakyat kecil. Dari diskusi, ia bergerak ke aksi. Bersama Dandik Katjasungkana, ia mendirikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Surabaya di Jalan Kedung Seroko. Tak berhenti di situ, ia pun terlibat dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).
Namun keterlibatannya itu membuat Herman berada dalam sorotan aparat. Pasca Tragedi 27 Juli 1996-saat aparat menyerang kantor DPP PDI pimpinan Megawati-Herman memimpin aksi solidaritas di Surabaya. Aksi itu berujung bentrokan dan penangkapan massal. Herman lolos, namun namanya masuk daftar incaran.
Ketika suhu politik memanas menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Herman ditarik ke Jakarta untuk membantu PRD Pusat. Menggunakan nama alias "Sadli", ia menjalani hidup berpindah-pindah, menghindari penculikan aktivis yang kala itu makin masif terjadi. Krisis moneter 1997 memperparah situasi. Rakyat marah, mahasiswa pun bergerak.
11 Maret 1998, Soeharto kembali dilantik sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Esoknya, Herman bersama sejumlah aktivis menggelar konferensi pers di YLBHI sebagai bentuk penolakan. Usai acara itu, ia diculik. Lokasi terakhirnya terlacak di sekitar Jalan Diponegoro. Sejak saat itu, Herman tak pernah terlihat kembali.
Salah satu saksi penting dalam kisah ini adalah Budi Harjanto, mantan aktivis Promega yang tinggal di Tanjungsari, Surabaya. Dalam kesaksian yang ia bagikan beberapa tahun lalu, Budi menyebut Herman sempat singgah ke rumahnya usai mengikuti aksi buruh tahun 1996. Saat itu, Herman mengenakan celana yang kotor dan kemudian diberi celana bersih oleh Budi-celana yang dijahit langsung oleh istrinya.
Tahun-tahun berikutnya, kabar mengejutkan datang. Di Kepulauan Seribu, ditemukan sebuah kontainer dari dasar laut yang berisi jenazah-jenazah tak dikenal. Sebagian besar sudah menjadi tulang belulang. Budi yang datang ke lokasi mengaku melihat salah satu jenazah mengenakan celana serupa dengan buatan istrinya.
"Saya kaget karena celananya sangat mirip. Apakah itu Herman Hendrawan?" katanya kepada media. Namun, tidak ada tes DNA. Tidak ada penyelidikan menyeluruh. Jenazah-jenazah itu tetap tak bernama.
Herman Hendrawan adalah satu dari sedikitnya 13 aktivis pro-demokrasi yang dinyatakan hilang pada tahun 1997-1998. Dari belasan nama itu, hanya segelintir yang kembali, sebagian besar dalam kondisi trauma berat. Sisanya, termasuk Herman, masih hilang, digantung dalam ketidakpastian oleh negara yang memilih bungkam.