Pangan di Indonesia bisa diidentikkan dengan beras, karena jenis pangan inilah yang menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat. Apabila terjadi gangguan terhadap ketahanan pangan (beras) seperti kurangnya sediaan dan naiknya harga beras, maka akan menimbulkan dampak yang serius.
Dampak tersebut misalnya terjadinya kerawanan sosial, ketidakstabilan ekonomi dan politik, hingga terganggunya stabilitas nasional.
Melambungnya harga beras pada saat terjadi krisis 1998 tidak hanya menyebabkan terganggunya ketahanan pangan, bahkan berimplikasi serius terhadap kerawanan sosial, ketidakstabilan politik, dan diikuti jatuhnya pemerintahan Orde Baru.
Sungguh sangat ironis, Pak Harto yang berhasil mengubah Indonesia dari status pengimpor menjadi negara yang berswasembada beras pada akhirnya harus jatuh karena masalah beras juga. Krisis ekonomi yang terjadi pada masa-masa akhir pemerintahannya, salah satunya adalah meroketnya harga beras, berubah menjadi krisis multidimensi yang memaksanya harus lengser keprabon.
Badan Pusat Statitstik mencatat bahwa harga eceran beras di 33 kota (ibu kota provinsi) di Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Di Pulau Jawa yang menjadi sentra produksi beras, harga eceran di pasar tradisional Jakarta adalah harga tertinggi dibandingkan dengan lima kota lainnya.
Pada tahun 2015 tercatat kenaikan harga eceran beras terbesar selama kurun waktu 2011-2016, yaitu sebesar 12,3% (untuk Pulau Jawa) dan 10,1% (nasional) sebelum kembali stabil di tahun 2016. Sedangkan pada tahun 2017, harga beras relatif stabil di 3 kwartal pertama dan mulai naik pada bulan September.
Dalam persoalan mengenai beras, jumlah penawaran bisa diartikan sebagai jumlah produksi beras (ditambah impor beras), sedangkan jumlah permintaan bisa dilihat sebagai jumlah konsumsinya.
Data produksi dan konsumsi beras nasional tahun 2105-2017 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami surplus. Produksi beras tahun 2017 mencapai 46,16 juta ton, sedangkan konsumsi beras mencapai 32,7 juta ton. Neraca beras nasional tercatat mengalami surplus sebesar 11,9 juta ton setelah dikurangi penggunaan non pangan.
Surplus tersebut diperkirakan juga terjadi untuk tahun 2018 (surplus12,7 juta ton) dan tahun 2019 (surplus 13,5 juta ton). Secara logika, jika beras nasional mengalami surplus setiap tahun maka tidak akan terjadi kenaikan harga beras. Lalu mengapa faktanya harga beras terus naik, bahkan sempat terjadi kenaikan yang cukup besar di tahun 2015?