Mohon tunggu...
daniel lopulalan
daniel lopulalan Mohon Tunggu... Penulis - Student of life

Belajar berbagi. Belajar untuk terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernahkah Manusia Belajar dari Pandemi?

20 September 2020   09:21 Diperbarui: 20 September 2020   15:56 1815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barak penderita flu Spanyol di Camp Funston, Kansas, 1918.| Sumber: Otis Historical Archives, National Museum of Health and Medicine/ Kompas.com

Belajar dari Pandemi seperti tidak ada habisnya. Terdapat banyak wabah atau pandemi atau pageblug dalam sejarah umat manusia. 

Salah satu wabah yang terkenal dalam sejarah adalah Black Death. Wabah ini diakibatkan bakteri Yersinia Pestis yang ditularkan oleh binatang,khususnya tikus pada manusia. 

Wabah yang menyebabkan penyakit pes atau sampar ini menyerang Eropa pada tahun 1347 dan berakhir 4 tahun kemudian dengan korban meninggal sekitar 200 juta orang. 

Saat wabah ini berlangsung, mulai dikenal isolasi terhadap orang yang diduga terkena penyakit. Saat itu di Pelabuhan Ragusa Venesia diterapkan pembatasan jarak untuk pelaut yang baru merapat di pelabuhan dan tidak boleh ke darat dalam tempo 40 hari. 

Dalam bahasa setempat pembatasan jarak ini dikenal dengan quarantino, atau 40 hari. Sebuah istilah yang di kemudian hari dikenal sebagai karantina.

Sebetulnya apa yang terjadi pada saat pandemi berlangsung? Belajar dari pandemi seperti ebola, cacar, dan kolera, semua pandemi memiliki ciri yang mirip. Pada saat pandemi terjadi, tidak seorangpun tahu bagaimana menghadapinya. 

Semua mengharapkan obat yang tidak kunjung datang. Semua panik dan justru dalam kepanikan itulah seringkali sikap yang tidak diharapkan muncul. 

Pada saat wabah ebola baru muncul di tahun 2014 di Afrika Barat, wabah ini tidak diketahui penyebabnya. Pada saat itu, orang tidak tahu bahwa penyebaran virus sangat mudah terjadi melalui air liur, keringat, maupun darah. Sehingga banyak yang tertular justru karena ingin menolong korban yang sudah jatuh sakit. 

Pusat penularan justru terjadi di rumah sakit, rumah korban, maupun penanganan jenazah saat akan dikuburkan. Kepanikan menimbulkan banyak korban. sekitar 90 persen dari yang terinfeksi meninggal dalam hitungan bulan. 

Kenapa sesuatu hal yang sederhana bisa menjadi meluas menjadi penyakit yang mematikan dalam wilayah yang luas? Apa hal yang menjadi pemicunya?

Faktor yang pertama adalah budaya. Seperti pada meluasnya penyakit ebola tahun 2014 di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. Budaya setempat yang melakukan ciuman pipi kepada jenazah sebagai penghormatan terakhir, menjadi sumber penularan penyakit yang sangat cepat. 

Faktor budaya juga yang menjadi masalah ketika wabah pes menyerang Eropa di abad pertengahan. Nostradamus, seorang Fisikawan terkenal Prancis zaman itu, menyarankan agar masyarakat sering membersihkan badan dan berganti pakaian. Sebuah kebiasaan yang jarang dilakukan waktu itu.

Faktor lain yang mendukung meluasnya pandemi adalah kemajuan transportasi antar wilayah di dunia. Hal ini tidak terjadi pada beberapa abad yang lalu. Kemudahan transportasi udara, akses jalan darat yang memadai, akses laut yang menghubungkan manusia dan barang antar benua. 

Semua dengan cepat menghubungkan banyak titik di dunia. Tidak heran virus Corona menyebar sangat cepat dalam hitungan bulan ke seluruh dunia sejak dimulai dari Provinsi Wuhan di China pada bulan November 2019.

Sebetulnya adakah hal positif yang kita dapat dari munculnya pandemi? Apakah ada hal hal ini membuat manusia belajar dari pengalamannya?

Sosiolog Charles Fritz melakukan riset di tahun 1961 tentang perilaku masyarakat saat perang dan bencana alam. Hasilnya saya rasa cukup relevan berhubungan dengan kondisi pandemi. 

Pada saat yang penuh tekanan, masyarakat cenderung bergandengan tangan bersama untuk saling membantu mengatasi masalah yang ada. Seakan menghadapi musuh bersama, semua saling membantu. Individualisme berkurang, perbedaan latar belakang sosial, politik, ekonomi disisihkan. 

Semua menyadari hanya bisa selamat saat kompak berjalan beriringan. Suatu kondisi yang langka didapat saat kondisi normal.

Hal positif lainnya adalah peningkatan kualitas dari obat dan alat kesehatan. Baju, masker, alat pendeteksi virus, termasuk didalamnya usaha untuk segera mencari antivirus, gencar dilakukan oleh semua pihak. Semua saling membantu untuk mengakhiri pandemi yang ada. 

Republic Democratic Congo belajar dari pengalaman pandemi tahun 1976. Saat terjadi lagi pandemi Ebola tahun 2014, negara ini berhasil memodifikasi sebuah mesin pendeteksi bakteri tuberculosis menjadi mesin pendeteksi virus ebola di tubuh manusia. 

Mesin ini mempersingkat waktu pemrosesan dari 3 hari menjadi hanya beberapa jam saja. Ini yang membuat negara ini dapat dengan cepat keluar dari masalah pandemi ebola di tahun 2014.

Apa hal hal yang membuat sebuah pandemi berakhir? 

Setelah ditelusuri, mulai dari Black Death sampai dengan pandemi cacar, kolera dan ebola, semua pandemi berakhir dengan satu kemiripan yang sama. Terdapat pemisahan yang jelas antara yang sakit dan sehat. 

Metodenya mungkin berbeda-beda tapi prinsipnya sama. Mengisolasikan yang sakit dari yang sehat. Prinsip quarantino seperti pelaut di Venesia. Mungkin Ini yang menjelaskan kenapa pandemi dapat berakhir padahal masih belum ditemukan obat yang sesuai. 

Apakah manusia belajar dari pengalaman pandemi di masa lalu? 

Pada abad ke 19, butuh waktu 4 tahun bagi John Snow untuk menunjukkan pada rakyat London bahwa penyebab kolera bukanlah udara kotor yang berbau, melainkan limbah air kotor yang dibuang ke sungai Thames, yang juga menjadi sumber air minum bagi kota itu. Saat orang berhasil diyakinkan, perlahan pandemi kolera pun mereda. 

Namun sebaliknya saat ini di Jakarta bahaya penyakit kolera mengintai warganya. Menurut penelitian tahun 2019, 40% air tanah di Jakarta sudah tercemar bakteri E.coli dan air itu menjadi konsumsi 60% penduduknya.

Tidak heran, banyak penyakit seperti kolera dan stunting banyak terjadi di kota ini. Bila tidak hati-hati Jakarta bisa jadi kota London kedua. Mirip saat wabah kolera terjadi hampir 4 abad yang lalu. 

Dari pandemi ebola di Afrika kita tahu wabah ini terjadi 2 kali, 1976 dan 2014. Penyakit pes atau sampar masih menjadi pandemi di Indonesia tahun 2007 di mana banyak orang meninggal dunia dan pes menjadi KLB tahun itu.

Dari pemaparan di atas, kita tahu bahwa memiliki pengalaman saja tidak cukup, manusia perlu belajar dari pengalaman itu dan membuat hidupnya lebih berkualitas. Tanpa keinginan belajar, pengalaman hanyalah sebuah kisah sejarah yang tidak ada artinya.

Kita bisa berdamai dengan virus, tapi tentu berdamai dengan bijak melalui isolasi diri yang kuat. Beraktivitas dengan kesadaran untuk melakukan pembatasan jarak fisik yang sesuai prosedur. Mengabaikan hal ini justru akan menimbulkan bencana bagi diri kita dan orang yang kita kasihi.

Pengalaman pun mengajarkan bahwa tidak ada kejadian yang berdiri sendiri. Pandemi pun tidak berdiri sendiri. Seperti sebaris bait Sajak Kenalan Lamamu, karya WS Rendra :

Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi

dari suatu kejadian,

yang kita tidak tahu apa-apa,

namun lahir dari perbuatan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun