Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertanda Tamatnya Riwayat Setya "The Untouchable" Novanto

2 Desember 2017   13:06 Diperbarui: 2 Desember 2017   15:45 2931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua DPR Setya Novanto, kembali menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, 23 November 2017. Hari ini ia diperiksa sebagai tersangka dalam dua kasus sekaligus. TEMPO/Imam Sukamto

Namun ada juga hakim praperadilan di kasus-kasus lainnya  yang mempunyai tafsir berbeda terhadap frasa "suatu perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri" itu, yaitu bahwa pelimpahan berkas perkara ke pengadilan belum mengakibatkan suatu permohonan praperadilan gugur. Permohonan para peradilan baru dinyatakan gugur jika sidang pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan itu sudah mulai disidangkan.

Akibatnya, timbul ketidakpastian hukum dalam penerapan ketentuan Pasal tersebut.

Fenomena tersebut berakhir pada 9 November 2016, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan uji materi terhadap Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP itu yang diajukan oleh mantan Bupati Morotai Rusli Sibua yang dijadikan tersangka oleh KPK atas  kasus korupsi suap terhadap (mantan) Ketua MK Akil Mochtar (2013). Selain Pasal itu, Rusli juga mengajukan uji materi terhadap Pasal 50 ayat (2), (3), Pasal 52 ayat (1), (2), Pasal 137, dan Pasal 143 ayat (1) KUHAP.

Pada 9 November 2016, MK memutuskan: hanya menerima sebagian permohonan terhadap Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, sedangkan pasal-pasal lainnya ditolak MK karena dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan," demikian Arief membacakan putusan dari permohonan yang diajukan oleh Bupati Morotai Periode 2012-2016 Rusli Sibua itu (mahkamahkonstitusi.go.id)

Dengan putusannya itu MK mengakhiri pula ketidakpastian hukum sebagai akibat dari multi tafsir dari hakim-hakim praperadilan sebelumnya.


Dengan putusan itu MK menetapkan: frasa "suatu perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan Negeri" dalam ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP itu harus diartikan bahwa permohonan sidang praperadilan gugur saat sidang pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan sudah dimulai, bukan sejak berkas pokok perkaranya baru dilimpahkan di Pengadilan.  

Berdasarkan keputusan MK itu, maka dalam kaitannya dengan kasus dugaan korupsi KTP-el atas nama Setya Novanto, KPK harus berburu dengan waktu, secepatnya, agar berkas pokok perkara itu sudah didaftarkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, dan harus segera dimulai persidangannya sebelum ada putusan hakim praperadilan, agar dengan demikian sidang praperadilan yang dimohon Setya Novanto itu akan dinyatakan gugur, dan hakim praperadilan akan menolak permohonan Setya tersebut.

Hal tersebut masih tetap berlaku sekalipun sidang praperadilan itu sudah dimulai nanti pada 7 Desember 2017, yang tidak boleh dilewati KPK adalah jangan sampai sudah ada putusan hakim praperadilan terhadap permohonan Setya tersebut, pelimpahan berkas yang diikuti dengan persidangan pokok perkaranya belum dimulai.

Sebab jika persidangan pokok perkara itu belum dimulai, maka hakim praperadilan akan meneruskan sidang tersebut dengan risiko fatal apabila permohonan tersebut dikabulkan hakim.

Pihak (pengacara) Setya Novanto tentu saja sangat mengetahui perihal ini, oleh karena itulah mereka memasang strategi untuk mengulur-ulur waktu dengan mengajukan sampai 14 saksi dan ahli meringankan (yang kebanyakan dari Partai Golkar) untuk diperiksa KPK, lalu diikuti dengan banyak di antara 14 saksi dan ahli meringankan itu diduga sengaja tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun