Selama ini pemerataan pembangunan ekonomi nasional di Papua tidak pernah dirasakan masyarakat Papua. Namun, tahun ini ada juga pemerataan. Sayang sekali pemerataan itu sama sekali bukan pemeratan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana seharusnya, melainkan pemerataan dilanda kabut asap!
Kalau sebelumnya hanya di daerah Riau di Sumatera dan sekitarnya yang selalu menjadi pelanggan asap akibat dari pembakaran lahan hutan, tahun ini hampir merata di seluruh Indonesia. Mulai dari daerah langganannya tiap tahunnya yaitu di Riau, lalu di Kalimantan, Sulawesi, Sulawesi, NTB, NTT, sampai di Papua. Padahal selama ini belum pernah terjadi “pemeraatan”, dan begitu banyaknya titik api di sedemikian banyak wilayah Indonesia seperti ini. Dari ujung barat sampai ujung timur.
Apakah fenomena ini juga merupakan pertanda bahwa para pelaku pembakar hutan itu memandang sepele pemerintahan Jokowi-JK? Mentalitas para pelaku yang semakin bobrok? Ataukah karena sistem pengawasan dan penegakan hukum yang semakin rapuh? Atau merupakan kombinasi dari semuanya itu? Jika tidak demikian, tentunya seharusnya dari pengalaman yang sudah-sudah seharusnya bencana kabut asap ini tidak pernah ada lagi, atau tidak semakin parah. Tahun ini, bukan hanya semakin parah (di Riau), tetapi semakin meluas, merata di hampir semua pulau besar di Indonesia. Papua yang selama ini tidak pernah dilanda bencana seperti ini, tahun ini mengalaminya.
Masyarakat Papua yang sangat kaya dengan kekayaan alamnya, salah satunya kekayaan hutan, selama ini nyaris tidak pernah menikmati hasil dari kekayaan tersebut, tahun ini malah ikut menderita terkena bencana asap ini. Darerah di Papua yang dilanda bencana asap ini terjadi di ujung timur Papua (Jayapura) sampai di ujung timur Papua (Sorong, Manokwari, dan Fakfak). Memang belum separah di Sumatera dan Kalimantan, tetapi tentu saja pemerintah dan kita tidak harus menunggu sampai parah, barulah memberi perhatianserius untuk mengatasi bencana kabut asap di Papua ini.
Saya, yang berasal dari Fakfak, Papua Barat, sudah mendapat banyak informasi mengenai bencana asap yang melanda Fakfak sejak sekitar dua minggu lalu. Beberapa dampak serius dari kabut asap di Fakfak ini juga mulai menyerupai daerah bencana lainnya, yaitu gangguan pernafasan pada manusia, batalnya beberapa penerbangan dari dan ke Fakfak, dan telah terjadi beberapa kali nelayan yang tersesat di laut saat berlayar mencari ikan.
Di Fakfak, titik-titik api di hutan padang ilalang di mulai dari Kecamatan Bombarai, lalu meluas sampai jauh ke area hutan Batu Gantung terus mendekati perkampungan penduduk. Topografi hutan Fakfak yang bertebing-tebing tinggi terjal semakin mempersulit upaya pemadaman yang sudah dilakukan oleh masyarakat, Basarnas, TNI, dan Polri. Apalagi dikarenakan fasilitas dan perlengkapan yang sangat buruk, membuat upaya pemadaman tersebut hanya sekadar saja dan tentu saja sia-sia. Kebakaran hutan semakin meluas.
Selama ini, Pemda Fakfak ternyata hanya mempunyai satu unit mobil pemadam, yang itu pun diketahui sudah lama tidak berfungsi karena rusak. Jadi, bayangkan saja, sebuah kota tidak punya satu pun mobil pemadam kebakaran yang bisa dipakai! Jadi, kini, yang bisa dilakukan Pemda dan masyarakat Fakfak adalah upaya-upaya pemadaman secara manual, yang kecil kemungkinan akan berhasil.
Daerah-daerah lain di Papua punmengalami nasib yang lebih-kurang sama; perlengkapan dan kemampuan untuk pemadaman api di hutan-hutan itu bisa dikatakan serba tak memadai. Sementara itu, dari pemerintah pusat belum ada kabar mereka mulai menaruh perhatiannya ke daerah-daerah yang dilanda asap di Papua ini. Tentu hal ini akan berbeda, jika diperoleh informasi ditemukan lagi sumber kekayaan alam yang sangat besar di Papua.
Berikut ini adalah foto-foto kabut asap di Fakfak yang dipotret saudara saya di Fakfak, dan nama yang tercantum pada foto-foto tersebut (dipotret antara tanggal 21-23 Oktober 2015), dengan dua foto milik saya saat Fakfak dalam keadaan normal (dipotret pada Desember 2013) sebagai perbandingan:









