Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK di Bibir Jurang Kematian

8 Oktober 2015   00:47 Diperbarui: 8 Oktober 2015   07:32 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika RUU disusun oleh DPR, pembahasan hanya menunggu satu draf inventarisasi (DIM), yaitu dari pemerintah. Sedangkan jika RUU menjadi inisiatif pemerintah, akan ada 10 DIM dari 10 fraksi di DPR. Menurut politikus PDIP yang juga mengusulkan koruptor mendapat pengampunan lewat sebuah Undang-Undang Pengampunan Nasional, yang akan dibicarakan juga  rancangannya oleh DPR itu, keberadaan 10 DIM itu akan membuat pembahasan lama karena akan sulit mempersatukan pandangan fraksi-fraksi.

Dengan kata lain, tampaknya DPR benar-benar hendak ngebut mewujudkan hasrat besar mereka melakukan pengamputasian habis-habisan terhadap KPK, sebelum “dibunuh” 12 tahun kemudian setelah RUU itu jadi disahkan. Tampaknya DPR sudah bertekad untuk sekaranglah saatnya yang paling tepat untuk menuju jalan yang pasti untuk membubarkan KPK selamanya.

Wujud dari pengamputasian secara habis-habisan terhadap KPK sebelum dibuarkan secara permamen itu telah ditentukan di dalam beberapa draf pasal RUU tentang perubahan UU KPK itu, yakni:

  1. KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini disahkan.
  2. KPK hanya dapat melakukan penyadapan setelah ada bukti permulaan yang cukup dan harus dengan seizin ketua pengadilan negeri setempat.
  3. KPK hanya berwenang mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp. 50 miliar. Di bawah dari nilai itu KPK wajib menyerahkan perkaranya kepada Polri atau Kejaksaan Agung.
  4. KPK tidak punya wewenang menuntut. Kewenangan menuntut dialihkan kepada Kejaksaan.

Dewan Kehormatan KPK

Selain itu di dalam draf RUU tersebut juga disebutkan tentang pembentukan Dewan Kehormatan, yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan kepada pimpinan KPK yang dianggap bersalah adalah pemberhentian sementara dari jabatannya itu.

Jadi, kewenangan pemberhentian sementara itu diubah, dari semula merupakan wewenang presiden, menjadi wewenang Dewan Kehormatan KPK. Dengan demikian kedudukan pimpinan KPK sudah dapat dipastikan menjadi jauh lebih lemah lagi daripada sekarang. Apalagi jika Dewan Kehormatan itu bisa dikendalikan oleh partai-partai politik yang ada. Cukup dengan sanksi pemberhentian sementara dari Dewan Kehormatan itu, maka KPK pun akan semakin “habis”.  KPK akan menjadi semakin tak berdaya karena kehilangan pimpinanya, seperti yang sudah terjadi baru-baru ini, ketika Jokowi memberhentikan smentara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun mengatakan,di negara yang egaliter tidak ada lembaga yang tidak bisa diawasi oleh mandat rakyat. “Kami ingin mencari jalan keluar karena saat ini KPK menjadi lembaga yang tidak bisa dikontrol, ujarnya.

Apakah benar KPK lembaga yang tidak bisa di kontrol, khususnya para pimpinannya? Jawabannya: Tidak benar. Selama ini KPK sudah punya yang namanya Komisi Etik KPK, yang bertugas untuk mengawasi para pimpinan KPK dalam menjalankan tugas jabatannya. Lembaga ini ada, dan berfungsi.

Contohnya, pada 2013, Ketua Abraham Samad terkena kasus etik terkait draf surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas Urbaningrum, yang bocor ke publik. Komisi ini lalu mengadakan sidang kode etik terhadap Abraham Samad. Hasilnya, pada 4 April 2013, Komisi menyatakan, Abraham Samad dinilai terbukti melakukan pelanggaran kode etik dalam kasus bocornya draf Sprindik Anas Urbaningrum. Namun, karena tidak terbukti secara langsung membocorkan Sprindik itu, Abraham Samad hanya kena sanksi teguran dari Komite Etik KPK. Sedang pembocor Sprindik itu, yang ternyata Sekretaris Ketua KPK, Wiwin Suwandi, langsung diberhentikan secara tidak hormat.

Itulah bukti KPK ada yang mengontrolnya.

Sebaliknya, justru DPR-lah lembaga yang selama ini tidak ada yang bisa mengontrolnya. Padahal dibandingkan dengan KPK, mentalitas sebagian besar anggota dan pimpinannya jauh dari di bawah standar etika pejabat negara. Sudah sejak dulu dikenal tak pernah berprestasi, tidak membawa aspirasi rakyat secara sungguh-sungguh; yang diperjuangkan hanyalah aspirasi partai politiknya masing-masing, tukang bolos sidang, tukang tidur di sidang, tukang pelisiran ke luar negeri dengan kamuflase studi banding, tukang makan gaji dan fasillitas buta, dan juga paling banyak terkena kasus korupsinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun