Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK di Bibir Jurang Kematian

8 Oktober 2015   00:47 Diperbarui: 8 Oktober 2015   07:32 1504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri agar KPK dibubarkan kelihatannya tidak terlalu lama lagi akan terwujud. Tidak perlu menunggu sampai korupsi tidak ada lagi di Indonesia -- seperti yang dimimpikannya  dalam pidatonya pada 18 Agustus 2015 lalu --, tetapi hampir pasti sekitar 12 tahun lagi KPK benar-benar akan “dimusnahkan” dari bumi Indonesia, alias dibubarkan! Itu akan diatur di dalam RUU KPK yang baru, yang kini sedang dalam tahapan draf di DPR.

Korupsi Tidak Ada Lagi? Hanya Ada di Dongeng

Ketika menyampaikan pidatonya itu di Gedung MPR dalam rangka memperingati Hari Konstitusi Internasional, Megawati mengingatkan bahwa KPK itu lembaga yang sifatnya  bersifat ad-hoc atau sementara. Oleh karena itu jika tidak diperlukan lagi, yaitu jika korupsi sudah tidak ada lagi di Indonesia, maka harus dibubarkan.

"Jadi, itu sangat pendek berpikirnya bahwa Bu Mega tidak setuju dengan adanya KPK. Kalau kita berhenti, tidak korupsi ya tentu saja KPK dong ya tidak ada lagi. Itu pemikiran yang sangat logis," katanya.

Logis apanya? Ini kan sama saja dengan kita mengatakan, polri juga perlu dibubarkan jika pencuri dan kejahatan lainnya sudah tidak ada lagi di Indonesia. Apakah mungkin korupsi itu bisa sama sekali tidak ada di bumi Indonesia ini? 

Bandingkan saja dengan Hongkong dan Singapura, yang sampai saat ini termasuk dalam negara yang paling bersih korupsinya. Paling bersih korupsinya bukan berarti sudah sama sekali tidak ada korupsi di negara itu, bak sorga turun ke dunia. Korupsi, seperti kejahatan lainnya, hanya bisa ditekan seminimal mungkin, tetapi kalau mau sampai hilang sama sekali, itu hanya ada di dalam dongeng.  Oleh karena itu di kedua negara ini, mereka bukan hanya mempertahankan lembaga pemberantasan korupsinya masing-masing, tetapi juga semakin memperkuatkannya. Singapura dengan The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), dan Hongkong dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC justru menjadi acuan utama Indonesia ketika mendirikan KPK.

Dengan jumlah penduduk Hongkong 7,2 juta jiwa (2014), ICAC mempekerjakan 1.300 pegawainya. Dari 1.300 orang itu 947 adalah penyidik, sedangkan anggaranya sebesar USD 875.500.000 (data 2013). Dari tahun ke tahun jumlah pegawai dan anggaran ICAC selalu naik, disesuaikan dengan kebutuhannya.

Bandingkan dengan KPK, dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, KPK hanya punya 987 pegawai, dengan 75 orang di antaranya adalah penyidik. Sedangkan anggarannya untuk tahun 2015 hanya sebesar Rp 898,91 miliar.

KPK Bukan Lembaga Sementara

Apakah benar KPK itu sebuah lembaga ad-hoc dengan pengertian hanya merupakan lembaga yang hanya sementara sifatnya, nanti kalau korupsi sudah tidak ada lagi di Indonesia, maka KPK harus dibubarkan, seperti yang dikatakan Megawati?

Untuk menjawab pertanyaan itu sebenarnya mudah saja. Pakai saja logika sederhana, apa mungkin kejahatan korupsi itu bisa benar-benar bersih dari Indonesia? Ini pertanyaan konyol sebetulnya, sama dengan bertanya, apakah mungkin pencuri dan kejahatan lainnya nanti bisa tidak ada lagi di Indonesia? Jadi tahu sendirilah jawabannya, tidak perlu saya jawab.

Silakan baca kembali semua produk UU yang berkaitan dengan KPK, yaitu UU KPK sendiri, UU tentang Pemberantasan Korupsi, UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan lain-lain, adakah indikasi bahwa KPK itu sifatnya hanya sementara?

 

Amputasi KPK Sebelum "Dibunuh"

Pidato dan harapan Megawati itu kini tampaknya diakomadasikan dengan sempurna  oleh DPR yang memang sejak lama sudah ingin sekali KPK itu dibubarkan, dikarenakan selama ini banyak sekali anggota DPR dan orang-orang partainya yang masuk penjara gara-gara korupsi dan ditangkap KPK, dengan memastikan bahwa jadwal pembubaran KPK itu ditetapkan di dalam sebuah undang-undang, yaitu undang-undang tentang KPK yang baru, yang saat ini masih dalam tahapan draf RUU. Draf RUU ini merupakan draf RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Jika draf itu telah disahkan menjadi undang-undang, maka KPK sudah dapat dipastikan tamat riwayatnya 12 tahun setelah Undang-Undang disahkan!

Selain mengenai penetapan jadwal kematian KPK itu, DPR juga mengakomdasikan ke dalam draf RUU itu semua cita-cita mereka sebelumnya yang selalu gagal diwujudkan untuk mengamputasi hampir semua kekuatan KPK. Draf RUU ini mungkin saja lolos menjadi Undang-Undang karena selain disokong sepenuhnya oleh partai pemerintah, juga didukung sebagian besar fraksi. Enam dari sepuluh fraksi telah menyatakan dukungannya itu. Mereka adalah Fraksi PDIP, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai PKB.

Pidato Megawati tempo hari itu ibarat sinyal kepada semua anggota PDIP di DPR untuk segera bergerak cepat mewujudkan cita-cita sang Ketua Umum untuk membubarkan KPK dengan cara legal, yaitu lewat tangan DPR. Karena terbukti PDIP adalah pihak utama yang memprakarsai revisi UU KPK dengan isi materi antara lain tentang pembatasan usia KPK itu.

Ini berarti pula bahwa sesungguhnya manuver yang dilakukan PDIP di parlemen itu bertentangan dengan kehendak Presiden Jokowi sendiri, yang pada Juni 2015 pernah mengatakan pemerintah belum punya keinginan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang KPK, tetapi lebih memprioritaskan pembahasan mengenai RUU KUHP dan RUU KUHAP.

Sebelumnya, katanya sih, tanpa sepengetahuan Jokowi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly, yang juga politisi PDIP,  telah sepakat dengan DPR untuk memasukkan RUU tentang revisi UU KPK itu di dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2015. Tindakan itu terkesan tiba-tiba, karena sebelumnya RUU perubahan terhadap UU KPK itu tidak termasuk di dalam daftar Prolegnas Prioritas 2015 (baca artikel: Menkumham Yasonna Laoly Semakin Layak Dicopot).

Di dalam rancangan perubahan UU KPK yang dibawa Menteri Yasonna Laoly atas nama pemerintah itu sudah terdapat beberapa poin yang pada intinya memangkas hampir semua kekuatan KPK yang selama ini justru sangat bermanfaat menangkap tangan para koruptor kakap, antara lain seperti kewenangan KPK menyadap yang harus seizin ketua pengadilan setempat, menghilangkan wewenang KPK untuk melakukan penuntutan, dan penetapan jumlah nilai minimal kasus korupsi yang boleh ditangani KPK.

Setelah rencana itu menjadi kontroversi di masyarakat, Jokowi dikabarkan memerintah kepada Yasonna Laoly agar menarik kembali RUU itu dari daftar Prolegnas Priotitas 2015, tetapi sampai hari ini pemerintah telah menarik kembali RUU yang semula merupakan inisiatifnya.  

Sebaliknya, justru sekarang,  inisiatif revisi UU KPK itu diambil-alih oleh DPR dari pemerintah. Jadi, sekarang inisiatif RUU perubahan terhadap UU KPK itu merupakan inisiatif sepenuhnya dari DPR, bukan lagi dari pemerintah. Anggota Baleg dari F-PDIP Hendrawan Supratikno memberi alasan bahwa pengambilalihan inisiatif penyusunan draf RUU KPK dari pemerintah ke DPR itu didasari pertimbangan efektivitas waktu.

Jika RUU disusun oleh DPR, pembahasan hanya menunggu satu draf inventarisasi (DIM), yaitu dari pemerintah. Sedangkan jika RUU menjadi inisiatif pemerintah, akan ada 10 DIM dari 10 fraksi di DPR. Menurut politikus PDIP yang juga mengusulkan koruptor mendapat pengampunan lewat sebuah Undang-Undang Pengampunan Nasional, yang akan dibicarakan juga  rancangannya oleh DPR itu, keberadaan 10 DIM itu akan membuat pembahasan lama karena akan sulit mempersatukan pandangan fraksi-fraksi.

Dengan kata lain, tampaknya DPR benar-benar hendak ngebut mewujudkan hasrat besar mereka melakukan pengamputasian habis-habisan terhadap KPK, sebelum “dibunuh” 12 tahun kemudian setelah RUU itu jadi disahkan. Tampaknya DPR sudah bertekad untuk sekaranglah saatnya yang paling tepat untuk menuju jalan yang pasti untuk membubarkan KPK selamanya.

Wujud dari pengamputasian secara habis-habisan terhadap KPK sebelum dibuarkan secara permamen itu telah ditentukan di dalam beberapa draf pasal RUU tentang perubahan UU KPK itu, yakni:

  1. KPK dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini disahkan.
  2. KPK hanya dapat melakukan penyadapan setelah ada bukti permulaan yang cukup dan harus dengan seizin ketua pengadilan negeri setempat.
  3. KPK hanya berwenang mengusut kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp. 50 miliar. Di bawah dari nilai itu KPK wajib menyerahkan perkaranya kepada Polri atau Kejaksaan Agung.
  4. KPK tidak punya wewenang menuntut. Kewenangan menuntut dialihkan kepada Kejaksaan.

Dewan Kehormatan KPK

Selain itu di dalam draf RUU tersebut juga disebutkan tentang pembentukan Dewan Kehormatan, yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan dugaan terjadinya pelanggaran penggunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan kepada pimpinan KPK yang dianggap bersalah adalah pemberhentian sementara dari jabatannya itu.

Jadi, kewenangan pemberhentian sementara itu diubah, dari semula merupakan wewenang presiden, menjadi wewenang Dewan Kehormatan KPK. Dengan demikian kedudukan pimpinan KPK sudah dapat dipastikan menjadi jauh lebih lemah lagi daripada sekarang. Apalagi jika Dewan Kehormatan itu bisa dikendalikan oleh partai-partai politik yang ada. Cukup dengan sanksi pemberhentian sementara dari Dewan Kehormatan itu, maka KPK pun akan semakin “habis”.  KPK akan menjadi semakin tak berdaya karena kehilangan pimpinanya, seperti yang sudah terjadi baru-baru ini, ketika Jokowi memberhentikan smentara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, M Misbakhun mengatakan,di negara yang egaliter tidak ada lembaga yang tidak bisa diawasi oleh mandat rakyat. “Kami ingin mencari jalan keluar karena saat ini KPK menjadi lembaga yang tidak bisa dikontrol, ujarnya.

Apakah benar KPK lembaga yang tidak bisa di kontrol, khususnya para pimpinannya? Jawabannya: Tidak benar. Selama ini KPK sudah punya yang namanya Komisi Etik KPK, yang bertugas untuk mengawasi para pimpinan KPK dalam menjalankan tugas jabatannya. Lembaga ini ada, dan berfungsi.

Contohnya, pada 2013, Ketua Abraham Samad terkena kasus etik terkait draf surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas Urbaningrum, yang bocor ke publik. Komisi ini lalu mengadakan sidang kode etik terhadap Abraham Samad. Hasilnya, pada 4 April 2013, Komisi menyatakan, Abraham Samad dinilai terbukti melakukan pelanggaran kode etik dalam kasus bocornya draf Sprindik Anas Urbaningrum. Namun, karena tidak terbukti secara langsung membocorkan Sprindik itu, Abraham Samad hanya kena sanksi teguran dari Komite Etik KPK. Sedang pembocor Sprindik itu, yang ternyata Sekretaris Ketua KPK, Wiwin Suwandi, langsung diberhentikan secara tidak hormat.

Itulah bukti KPK ada yang mengontrolnya.

Sebaliknya, justru DPR-lah lembaga yang selama ini tidak ada yang bisa mengontrolnya. Padahal dibandingkan dengan KPK, mentalitas sebagian besar anggota dan pimpinannya jauh dari di bawah standar etika pejabat negara. Sudah sejak dulu dikenal tak pernah berprestasi, tidak membawa aspirasi rakyat secara sungguh-sungguh; yang diperjuangkan hanyalah aspirasi partai politiknya masing-masing, tukang bolos sidang, tukang tidur di sidang, tukang pelisiran ke luar negeri dengan kamuflase studi banding, tukang makan gaji dan fasillitas buta, dan juga paling banyak terkena kasus korupsinya.

Selama ini DPR bebas bertingkah polah seperti itu, rakyat marah, pun mereka cuwek bebek saja, tetap bersikukuh dengan kelakuannya yang tak terpuji itu, masih minta fasilitas gedung mewah, dana aspirasi, dan sebaginya. Rakyat silakan marah semarah-marahnya, tapi bisa apa? Tidak ada yang bisa membubarkan DPR, maka itu mereka pun bebas berperilaku tak terpuji itu karena sesungguhnya dengan kelakuannya itu pula partainya pun sebenarnya membekingnya.

Adakah mandat rakyat yang mengontrol mereka?

Jika KPK Semakin Kuat, Kenapa DPR Semakin Gelisah

Apapun alasan DPR, ribut-ribut terus DPR terhadap eksistensi KPK dengan segala power-nya yang super itu sebenarnya bukti nyata bahwa mereka selama ini pula sangat gerah dengan keberadaan KPK itu. Padahal selama ini pula dengan segala kekurangan yang ada padanya, KPK sudah banyak jasanya dalam pemberantasan korupsi, terutama yang kelas kakap dan paus. Sehingga selalu mendapat dukungan mayoritas rakyat. Kalau keberadaan KPK selama ini sudah sedemikian dirasakan manfaatnya oleh rakyat, kenapa justu DPR yang terus gelisah? Saya pikir, pembaca bisa menjawabnya sendiri.

Kalau ada segerombolan pencuri berkumpul, lalu datanglah polisi, meskipun saat itu mereka tidak sedang beraksi mencuri, tentu gerombolan itu akan gelisah juga, bukan? Takut-takut identitas sebenarnya ketahuan polisi dengan segala akibatnya. Mereka tentu sangat ingin agar polisi segera menyingkir dari tempat itu, segala cara akan mereka tempuh supaya polisinya menyingkir. Supaya tidak ketahuan identitasnya, cara-cara itu akan dilakukan dengan penuh hati-hati, cermat dibungkus dengan aneka macam kamuflase.

Jika dibandingkan dengan CPIB (Singapura) dan ICAC (Hongkong), kekuatan KPK tidak seberapa kuat. Tetapi itu saja sudah cukup membuat para koruptor gemetar ketakutan, dan  DPR serta sejumlah politisi lainnya gerah dan gelisah. Apalagi jika KPK pun punya kekuatan yang setara dengan CPIB dan ICAC.

ICAC di Hongkong justru dimasukkan ke dalam konstitusi Hongkong, yaitu Hongkong Basic Law 1990, kemudian diatur di Prevention of Bribery Ordinance (public and private sector), Elections (Corrupt and Illegal Conduct) Ordinance, dan The ICAC Ordinance. Maksud dari dimasukkan ICAC di konstitusi Hongkong adalah untuk mencegah lembaga itu diutak-atik oleh kepentingan pihak-pihak tertentu supaya menjadi lemah, dan dibubarkan.

Mantan Deputi Komisaris dan Kepala Operasi ICAC,  Professor Tony Kwok Man-wa saat menjadi pembicara kunci di beberapa seminar antikorupsi di Indonesia beberapa tahun lalu, pernah menyararankan agar KPK juga mengikuti jejak Hongkong, yaitu dimasukkan ke dalam Konstitusi, yaitu UUD 1945, agar terbebas dari para pemburunya yang selalu bernafsu “menghabisinya.”

Selain itu, di Hongkong, hanya ICAC yang berwenang menangani kasus korupsi. Hal yang sama juga CPIB di Singapura. Polisi berwenang menangani kasus kejahatan lain di luar korupsi.

CPIB beranggotakan investigator sipil dan anggota polisi senior. CPIB bergerak berdasarkan Prevention of Corruption Act (PCA). Undang-undang ini memberi kekuasaan pada CPIB untuk menginvestigasi dan menangkap para koruptor. Kepada lembaga ini diberikan wewenang untuk menggunakan semua otoritas dalam memberantas korupsi. Kepolisian Singapura, tetap memiliki kewenangan melakukan penyelidikan terhadap kasus korupsi. Namun, setiap kali penyelidikan dan penyidikan itu mengarah pada korupsi, Kepolisian Singapura wajib menyerahkannya pada CPIB. Bahkan, untuk pemeriksaan internal anggota polisi, jika terindikasi korupsi, akan diserahkan ke CPIB pula.

Beda dengan di Indonesia yang tetap rangkap-rangkapan, meskipun sudah ada lembaga khusus pemberantasan korupsi (KPK), tetap saja polisi dan kejaksaan berwenang menangani perkara korupsi. Akibatnya mereka pun seperti saling berlomba, siapa cepat dia yang mendapat kasus korupsi tertentu.

Perbedaan lain, kalau di Singapura, dan Hongkong, yang nota bene angka korupsinya termasuk terendah di dunia, CPIB dan ICAC tetap dipertahankan eksistensinya, bahkan semakin diperkuat, di Indonesia yang masih merajalela koruptor kakap dan pausnya, KPK justru hendak dibubarkan. Pakai target segala: 12 tahun sejak UU barunya disahkan.

Maka, bisa jadi, kelak sekitar 12 tahun dari sekarang, ada perbedaan berikutnya: Kalau di Singapura dan Hongkong, lembaga pemberantasan korupsinya memberantas para koruptor, maka di Indonesia justru para koruptornya yang memberantas lembaga pemberantasan korupsinya.

Sekarang kita sudah melihat dengan jelas, bahwa DPR kini sudah tidak malu-malu lagi mengemukakan hasrat besar mereka untuk membubarkan KPK. Hasrat itu kini mereka buka terang-terangan di hadapan publik, dengan cara menuangkan hasrat pembubaran KPK itu ke dalam draf RUU perubahan terhadap UU KPK Tahun 2002 sebagaiman sudah dibeberkan tersebut di atas.

Kini, kita menunggu bagaimana sikap resmi pemerintah, sikap Presiden Jokowi, menghadapi hasrat besar DPR ini. Jika Jokowi sungguh-sungguh dengan semangat antikorupsinya, dan konsisten dengan Nawacitanya, tentu ia akan menolak pemerintah ikut membicarakan revisi UU KPK itu. Jika pemerintah menolak membicarakan revisi tersebut, maka hasrat besar DPR untuk membubarkan KPK itu dipastikan akan padam kembali. Tetapi, apakah Presiden JOkowi benar-benar akan melaukan penolakan itu?

Sedangkan KPK sudah langsung dengan cepat merespon hasrat besar DPR itu, dengan mengeluarkan pernyataan resmi mereka menolak rencana revisi UU KPK tersebut. Isi pernyataannya itu secara lengkap bisa dibuka dan dibaca di laman resmi KPK, silakan klik di sini .*****

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun