DVD bajakan di mall mewah
Apabila penghentian peredaran semua film Hollywood dan film asing lainnya di seluruh bioskop di Indonesia berlangsung permanen, siapa yang akan merasakan paling diuntungkan?
"Pedagang DVD bajakan!"
Rasanya semua orang yang ditanyakan, akan menjawab demikian.
Karena para penggemar film Hollywood, dan film asing lainnya, yang semula terbiasa nonton di bioskop, akan mencari alternatif lain untuk menyalurkan hobi mereka itu.
Alternatif lain itu hampir pasti adalah DVD bajakan. Yaitu kalau mereka tidak sabar untuk menunggu DVD aslinya dirilis.

Mereka yang penggemar film-film Hollywood sebangsa The Dark Knight, Avatar, Inception, dan sejenisnya, tidak mungkin bisa dialihkan hobinya untuk menonton film nasional yang setara dengan itu.



Penggemar film horor ala Hollywood semacam film horor yang oleh Stephen King disebutkan sebagai film horor terbaik tahun 2010, Let It Me, tidak mungkin bisa dipaksa hobinya untuk beralih menonton film horor ala Indonesia, semacam Jenglot Pantai Selatan, Pocong Ngesot, atau Arwah Goyang Karawang.
Penggemar film-film animasi kualitas tinggi dari Hollywood semacam Toy Story, How to Train Your Dragon, Megamind, Despicable Me, dan seterusnya, tak akan bisa mendapat penggantinya dari film nasional.



Lebih tepat lagi adalah yang akan meraup keuntungan berlipat-lipat dari dampak tersebut adalah produsen dan pedagang DVD bajakan. Tanpa perlu membayar pajak sesen pun ke Kas Negara.
Suatu fakta yang sangat kontradiktif dan ironis sekali.
Pemerintah memburu pebisnis film impor dengan menciptakan obyek pajak baru dan menaikkan tarif pajak, dengan alasan untuk menambah penghasilan negara (yang kemudian menuaikan masalah itu), tetapi selama ini terus membiarkan begitu saja jutaan keping DVD bajakan setiap hari diperdagangkan dengan bebas sebebas-bebasnya, tanpa membayar pajak sesenpun kepada negara.
Padahal dari bisnis ilegal tersebut negara setiap tahun kehilangan pendapatan pajak mencapai ratusan miliar rupiah.
Selain tak pernah bayar pajak, memproduksi, mengedarkan, dan memperdagangkan DVD bajakan adalah suatu perbuatan melanggar hukum berat. Bahkan tergolong kejahatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Hak Cipta.


Faktanya? Kita dengan mudah sekali menemukan pusat-pusat perdagangan DVD bajakan itu. Bahkan di pusat-pusat perbelanjaan yang tergolong mewah pun, seperti di mall-mall, pengelolanya menyediakan space khusus untuk para pedagang barang ilegal tersebut.
Memang satu-dua kali kita mengetahui bahwa ada razia polisi terhadap para pedagang DVD bajakan tersebut. Tetapi kita pun tahu bahwa razia-razia tersebut sebetulnya hanya sekadar basa-basi yang sama sekali tidak ada artinya.
Pedagang yang terkena razia polisi, paling banter akan menutup usahanya selama beberapa hari, karena harus “diperiksa” polisi. Tapi setelah beberapa hari lewat akan terlihat dia sudah membuka dan menjalankan usahanya ilegalnya itu lagi seperti biasa. Bahkan kemudian bisa membuka beberapa cabang tokonya yang baru.
Tidak berlebihan juga kalau mengatakan bahwa bisnis DVD bajakan itu, berubah menjadi suatu lahan tersendiri dari oknum-oknum aparat untuk mendapat penghasilan sampingan yang justru jauh lebih besar daripada penghasilan resminya.
Penghasilan sampingan tersebut berupa “upeti” yang harus disetor oleh para pedagang DVD bajakan agar aparat seolah-olah tidak tahu mereka berdagang barang ilegal tersebut.
Maka tak usah heran bahwa bisnis DVD bajakan itu bukannya semakin sedikit, melainkan sebaliknya berkembang sangat pesat di Indonesia. Mulai dari pedagang kaki lima sampai dengan di mall-mall mewah.
Semakin lama semakin maraknya bisnis DVD bajakan secara terang-terangan inilah salah satu bukti tak terbantahkan dari pemeo yang mengatakan, di Indonesia peraturan hukum dibuat, gunanya untuk dilanggar, dan untuk memberi kesempatan kepada oknum aparat mendapat penghasilan tambahan, adalah benar.
Seharusnya para produsen, pengedar, dan pedagang DVD bajakan tersebut tidak pernah diberi kesempatan sedikitpun untuk berdagang, karena sudah lebih dari jelas hal tersebut merupakan suatu perbuatan melanggar hukum yang masuk kategori kejahatan. Baik bersifat nasional, maupun internasional.

Bahkan seharusnya, bukan hanya produsen, pengedar, dan pedagang DVD bajakan saja yang diproses hukum, tetapi juga pengelola mall bersangkutan. Karena dia sebagai penyedia fasilitas transaksi barang ilegal berupa DVD bajakan tersebut.
Tetapi itulah Indonesia, yang seharusnya terjadi, tidak pernah terjadi. Yang seharusnya tidak terjadi, justru yang terjadi, dan lama-kelamaan menjadi kelaziman. Seolah-olah sudah bukan suatu kejahatan lagi, dan peraturan hukum itu hanya menjadi pajangan atau alas kaki mereka saja.
Ketika kita mengharapkan aparat bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, maka selalu saja ada dalih dari pihak yang berwenang (kepolisian) yang membiarkan semakin berkembangnya bisnis DVD ilegal di depan mata dan hidung mereka itu. Bahkan kadang-kadang, kita bisa menyaksikan sendiri, adanya aparat kepolisian yang membeli juga DVD bajakan tersebut!

Beberapa kendala yang sering dilontarkan oleh yang berwenang sebagai dalih adalah sebagai berikut:
Pertama, sulitnya melacak keberadaan pabrik-pabrik DVD bajakan itu.
Ini dalih yang meragukan dan sekaigus tanpa sadar menurunkan kualitas kemampuan polisi sendiri dalam melakukan suatu teknik penyelidikan dan perburuan terhadap pelaku suatu tindak pidana kejahatan.
Kalau pun benar polisi sulit melacak keberadaan pabrik DVD bajakan itu, maka seharusnya polisi fokus saja pada para penjual grosir, maupun ecerannya. Apabila mereka berhasil diatasi (ditangkap dan diproses hukum dengan hukum terberat), maka otomatis pabrik-pabrik tersebut akan mati sendiri, karena produk mereka tidak ada yang memasarkannya.
Saran ini akan terbentur dengan dalih kedua, yakni para penjual barang bajakan ini dari kalangan ekonomi lemah. Dikhawatirkan mereka akan kehilangan mata pencahariannya bila ditindak polisi.
Atau karena harga DVD asli relatif mahal, maka itu dibiarkan saja DVD bajakan dijual, supaya segala lapisan masyarakat dapat membelinya dalam jumlah yang sesuai dengan yang dibutuhkannya.
Pertanyaannya adalah: Kalau begitu untuk apa peraturan tentang hak cipta itu diundangkan? Justru Undang-Undang tentang Hak Cipta ini dibuat untuk dapat dijadikan dasar hukum penindakan terhadap kegiatan perdagangan barang-barang ilegal hak cipta ini. Tidak melihat pada status sosial para pelakunya.
Dalih ini menimbulkan pertanyaan juga, apa benar para pedagang DVD bajakan itu dari kalangan ekonomi lemah saja? Karena para pedagang barang ilegal ini juga terdapat di mall-mall, yang tentu harga sewa outlet-nya mahal. Para pedagang ini tidak mungkin dari kalangan ekonomi lemah, tetapi toh tetap bebas berdagang sampai hari ini.
Alasan kepolisian bahwa para pedagang DVD bajakan itu berasal dari kalangan ekonomi lemah (tuntutan perut) sehingga membuat polisi tidak melakukan proses hukum lebih lanjut, memberi kesan polisi seolah-olah lupa bahwa di sisi lain ada pemilik/pemegang hak cipta intelektual, pemilik pabrik/pengusaha pemegang executive licencee hak cipta, dan para pedagang DVD asli, yang juga mempekerja karyawan dan buruh pabrik yang jumlahnya tidak sedikit. Mereka ini juga berasal dari kalangan ekonomi lemah.
Alasan DVD bajakan murah dibiarkan supaya bisa dibeli oleh segala lapisan masyarakat pun tidak nyambung. Yang namanya barang ilegal, tetap saja barang ilegal. Tidak bisa menggunakan pembenaran seperti itu. Dasar hukumnya sama sekali tidak ada.