Mohon tunggu...
Garinps
Garinps Mohon Tunggu... Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Pembelajar sejati yang haus akan ilmu di bidang Lingkungan, Kesehatan, IPTEK, Internet, dan Seni.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sampah: Ancaman atau Aset? Kisah Tiga Negara yang Mengubah Limbah Menjadi Solusi Inovatif

15 Maret 2025   08:03 Diperbarui: 15 Maret 2025   08:03 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampah sering kali dianggap sebagai akhir dari sebuah siklus---sesuatu yang mengganggu, disingkirkan, atau bahkan dilupakan begitu saja. Namun, bagi Singapura, Jepang, dan Norwegia, sampah bukan sekadar masalah, melainkan peluang untuk menciptakan energi, mendukung keberlanjutan, dan bahkan memperkuat identitas budaya. Dengan teknologi canggih, regulasi yang ketat, serta partisipasi aktif masyarakat, ketiga negara ini menerapkan pendekatan inovatif dalam mengelola sampah. Artikel ini akan membahas bagaimana mereka melakukannya berdasarkan data terbaru.

Singapura: Teknologi Canggih di Lahan Terbatas

Dengan luas hanya 728 km dan populasi hampir 6 juta jiwa, Singapura menghadapi keterbatasan ruang yang signifikan. Namun, negara ini mengatasinya dengan strategi berbasis teknologi dan kebijakan yang matang. Empat fasilitas Waste-to-Energy (WtE), seperti Tuas South Incineration Plant, mampu mengolah 3.000 ton sampah setiap hari. Menurut National Environment Agency (NEA) pada 2024, proses ini menghasilkan listrik yang cukup untuk 300.000 rumah tangga setiap tahun. Volume sampah berkurang hingga 90%, sementara abu insinerasi dimanfaatkan untuk memperluas Pulau Semakau---tempat pembuangan akhir lepas pantai yang berkelanjutan. Dari total 7,39 juta ton sampah yang dihasilkan pada 2023, hanya 3% yang berakhir di TPA, menunjukkan efektivitas sistem ini.

Melalui Zero Waste Masterplan yang diluncurkan pada 2019, Singapura menargetkan tingkat daur ulang 70% pada 2030. Data NEA 2024 mencatat bahwa angka tersebut telah mencapai 61%, didukung oleh keterlibatan 1,2 juta rumah tangga dalam National Recycling Programme. Sejak 2019, volume sampah harian yang dikirim ke TPA telah berkurang 20%, mendekati target pengurangan 30%. Teknologi seperti sistem pengangkutan pneumatik bawah tanah di Punggol Eco-Town membantu mengurangi emisi karbon hingga 40%, sementara sensor otomatis di tempat sampah meningkatkan efisiensi pengumpulan sebesar 30%. Pada 2025, robot otonom untuk pengumpulan sampah akan mulai diujicobakan di kawasan komersial. Kebijakan seperti biaya SGD 0,20 per kantong plastik sejak 2023 berhasil menekan penggunaan plastik sebesar 15%, dengan dukungan 80% masyarakat berdasarkan survei 2024.

Jepang: Harmoni antara Disiplin dan Teknologi

Dengan populasi sekitar 125 juta jiwa, Jepang menjadi contoh pengelolaan sampah yang menggabungkan disiplin masyarakat dengan teknologi canggih. Sistem pemisahan sampah di negara ini sangat rinci, dengan hingga 45 kategori di wilayah seperti Kamikatsu, mencakup plastik, kertas, hingga limbah organik. Japan Waste Management Association (JWMA) pada 2023 melaporkan bahwa 85% rumah tangga mematuhi aturan ini, didorong oleh panduan resmi dan norma sosial yang kuat. Hasilnya, tingkat daur ulang mencapai 77% untuk plastik dan 90% untuk kertas pada 2024, menjadikan Jepang salah satu pemimpin global dalam daur ulang.

Lebih dari 1.000 insinerator modern, seperti Shin-Koto di Tokyo, memproses 1.800 ton sampah per hari sambil menghasilkan listrik untuk 100.000 rumah tangga. Teknologi penyaringan emisi yang canggih memastikan polutan berada di bawah standar WHO, sehingga hanya 1% dari 43 juta ton sampah tahunan (2023) yang dikirim ke TPA. Pada 2025, integrasi kecerdasan buatan dalam pengelolaan insinerasi diperkirakan akan meningkatkan efisiensi energi hingga 10%. Pusat daur ulang, seperti Tobu Chita Clean Center, mengolah limbah besar dengan tingkat pemrosesan ulang 65%, sementara Home Appliance Recycling Law membantu mendaur ulang 5,8 juta unit peralatan elektronik pada 2023. Filosofi mottainai---menghindari pemborosan---mendasari budaya ini, dengan produksi sampah per kapita turun menjadi 0,85 kg per hari pada 2024 dari 1 kg pada 2010, menurut Kementerian Lingkungan Jepang.

Norwegia: Limbah sebagai Sumber Energi Berkelanjutan

Norwegia, dengan populasi 5,5 juta jiwa, mengintegrasikan pengelolaan sampah ke dalam strategi keberlanjutan energi. Pollution Control Act (diperbarui 2023) menargetkan daur ulang 65% pada 2025, dan kini telah mencapai 63% (Environment Agency 2024). Limbah organik diolah menjadi 130 juta m biogas per tahun (2023), cukup untuk menggerakkan 20% armada bus di Oslo. Fasilitas WtE seperti Klemetsrud memproses 400.000 ton sampah non-organik setiap tahun, menyediakan pemanas untuk 100.000 rumah dan listrik untuk 20.000 rumah (Statkraft 2024), sekaligus mengurangi emisi karbon sebanyak 300.000 ton CO dibandingkan metode TPA konvensional.

Pemerintah daerah memainkan peran kunci dengan menyediakan fasilitas pengumpulan dan pengolahan limbah berbahaya. Program pay-as-you-throw di Bergen, dengan tarif NOK 3 per kg, telah mengurangi limbah rumah tangga sebesar 25% sejak 2021. Kolaborasi antarwilayah, seperti proyek di Vestland pada 2024, menghasilkan pusat daur ulang yang mengolah 50.000 ton sampah per tahun, dengan efisiensi 70% untuk plastik dan logam. Norwegia juga mengekspor teknologi pengelolaan sampah, menghasilkan pendapatan NOK 500 juta pada 2023, menegaskan posisinya sebagai inovator di bidang ini.

Pelajaran bagi Indonesia

Keberhasilan ketiga negara ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang efektif membutuhkan teknologi, regulasi yang jelas, dan keterlibatan masyarakat. Namun, di Indonesia, tantangan masih besar. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan produksi sampah mencapai 68 juta ton per tahun, sebagian besar limbah masih berakhir di TPA yang penuh atau bahkan berserakan di sungai dan jalanan. Tingkat daur ulang masih di bawah 20%, sementara teknologi seperti WtE atau insinerasi canggih masih dalam tahap wacana.

Meski tantangannya besar, Indonesia memiliki peluang untuk belajar dari negara lain. Peningkatan infrastruktur daur ulang, edukasi masyarakat, serta kebijakan pengelolaan sampah yang lebih ketat dapat membantu mengubah sampah dari ancaman menjadi aset. Dengan langkah konkret, bukan tidak mungkin Indonesia bisa mengikuti jejak negara-negara yang telah sukses mengelola limbah secara berkelanjutan. 

Sumber

  • National Environment Agency (NEA) Singapura. (2024). Waste Statistics and Recycling Rate.
  • Kementerian Lingkungan Jepang. (2024). Annual Report on Waste Management.
  • Environment Agency Norwegia. (2024). Waste Management in Norway: Progress and Targets.
  • Statkraft. (2024). Energy from Waste: Klemetsrud Facility Report.
  • Japan Waste Management Association (JWMA). (2023). Waste Recycling and Incineration Statistics.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun