Mohon tunggu...
Dani Darmawan
Dani Darmawan Mohon Tunggu... mahasiswa sastra

jadilah dirimu sendiri, tidak ada yang pernah lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Tujuh Bulan Masyarakat dalam Tinjauan Kebudayaan Turun Menurun

14 Oktober 2021   09:30 Diperbarui: 14 Oktober 2021   09:35 17824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam masyarakat adat sunda ada yang dikenal dengan istilah tujuh bulanan bagi seorang ibu yang mengandung dan usia kandungannya memasuki bulan ke-7. Dalam tradisi ini terdapat upacara tingkeban yaitu dengan memandikannya seorang ibu yang sedang mengandung dengan berbagai tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun.

Tujuan dari upacara siraman ini adalah berdoa kepada allah agar bayi yang didalam kandungannnya selamat begitu pula dengan sang ibunya. Arti dari kata tungkeban ini yaitu tingkeb yang berarti tutup, maksud dari dari pernyataan itu adalah bahwa sang ibu yang sedang mengandung 7 bulan tidak boleh berhungan intim dengan suaminya sampai memasuki 40 hari setelah masa persalinan.

Dalam hal ini masyarakat sunda sebagai kelompok budaya yang mampu bertahan hingga sampai saat ini, kiranya memiliki pandangan hidup tersendiri sehingga mampu hidup ditengah budaya-budaya lainnya.

Namun, tradisi tujuh bulanan ini senantiasa berubah sekali seiring dengan perkembangan zaman. Karena dalam kenyataanya, masyarakat akan mengalami perubahan sosial budaya.  Dan  didalam upacara tersebut terdapat pengajian dengan membaca lantunan-lantunan ayat suci al-qur'an serta ritual yang dilakukan adat sunda dalam proses tujuh bulanan yaitu dengan memandikan ibu hamil yang dimandikan oleh 7 orang dan seorang sang suami yang didampingi oleh seorang paraji. yang dilakukan Secara bergantian dengan memakai 7 lembar kain batik khas tradisional sunda yang dipakai untuk bergantian dari setiap siraman dan dimandikan dengan air kembang tujuh rupa.

Pada siraman ke-7 dimasukannya seekor belut muda sampai mengenai perut si ibu hamil, hal ini bertujuan agar sang bayi yang akan dilahirkannya nantinya bisa berjalan dengan lancar seperti belut yang licin dan gesit. Bersamaan dengan jatuhnya belut, disebelah kendi berisi air untuk memandikan si ibu hamil. 

Serta diletakkan sebuah kelapa gading yang diberi gambar tokoh wayang oleh suaminya untuk dibelah dengan golok baru yang sangat tajam. Hal ini bertujuan agar bayi yang sedang dikandung dan orang tuanya bisa berbuat baik lahir dan batinnya seperti keadaan kelapa gading yang mempunyai warna yang cantik dan indah.

Pada hakikatnya tradisi tujuh bulanan ini sudah sangat melekat pada masyarakat terutama pada adat sunda. Hal ini merupakan sebuah tradisi yang sifatnya berkembang secara turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang/orang-orang terlebih dahulu. Dan dilestarikan oleh generasi selanjutnya sehingga pada saat ini masyarakat sunda masih kental dengan tradisi tujuh bulanan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun