Mohon tunggu...
Dandung Nurhono
Dandung Nurhono Mohon Tunggu... Petani kopi dan literasi

Menulis prosa dan artikel lainnya. Terakhir menyusun buku Nyukcruk Galur BATAN Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Takwa, Memaknai Urip Mung Mampir Ngombe

8 Maret 2025   07:33 Diperbarui: 8 Maret 2025   07:33 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mampir Ngombe | Foto: Dandung N. (Dokpri)

Membicarakan kisah hidup manusia di dunia ini, bisa sangat panjang bahkan bisa dikatakan seperti tidak ada habisnya. Entah itu tentang kebaikannya maupun keburukannya. Akan sangat banyak pernak-pernik menghiasi kisah hidupnya. Sepertinya, sehari dua hari tidak akan cukup waktu menuntaskan kisah itu.

Akan sepanjang kisah hidup manusia itukah hidup di dunia ini ?

Al Qur'an surat Al Hajj ayat 47 menyebutkan bahwa satu hari di sisi Allah sama dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia. Itu menunjukkan bahwa waktu bersifat relatif, sehingga dapat dijelaskan dengan perbandingan secara matematis agar mudah dipahami.

Ayat tersebut tidak menjelaskan tentang perbandingan lamanya hidup di dunia dan akhirat, namun menjelaskan adanya perbedaan perhitungan yang relatit antara waktu dalam perhitungan manusia dengan waktu dalam perhitungan Allah, yaitu 1000 (seribu) tahun bagi manusia hanya terhitung satu hari bagi Allah.

Dengan tampilan perbandingan yang sangat jauh itu kemudian banyak para ahli yang membahasnya dari berbagai sudut pandang keilmuan, dari ilmu Matematika, Fisika, termasuk ilmu Tasawuf, dan sebagainya. Pada intinya semua menunjukkan bahwa hakikat kehidupan dunia sebetulnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kehidupan kekal di akhirat.

Karena kehidupan yang sesaat itu maka yang diperolehnya pun sangat sedikit, kata Rasulullah SAW: "Perbandingan dunia dan akhirat seperti orang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut, lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang di perolehnya." (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Perbandingan hakikat hidup dunia-akhirat yang sangat jomplang mengingatkan pada falsafah jawa bahwa, urip mung mampir ngombe. Sebuah konsep bahwa kehidupan di dunia hanya singgah sebentar saja, hanya untuk sekedar minum.

Kata mampir menunjukkan realitas tempat persinggahan yang memiliki ruang dan waktu, namun bukan tempat sebagai tempat tujuan akhir. Karena setelah selesai ngombe tempat itu akan segera ditinggalkan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke tempat tujuan yang sebenarnya, yaitu kehidupan yang hakiki, akhirat.

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW memberikan gambaran kehidupan di dunia ini seperti seseorang yang sedang dalam perjalanan, lantas beristirahat sebentar, kemudian meninggalkannya untuk melanjutkan perjalanan mencapai tujuan akhir. "Aku dan dunia ibarat orang dalam perjalanan menunggang kendaraan, lalu berteduh di bawah pohon untuk beristirahat dan setelah itu meninggalkannya." (HR. Ibnu Majah)

Hadis tersebut memberi makna bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah tempat persinggahan yang hanya sesaat, waktunya seorang hamba untuk menjalankan perintah Yang Maha Kuasa, kemudian menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhir. Karena itu setiap hamba harus selalu mengingat dari mana ia berasal dan harus ingat pula bagaimana ia harus kembali ke asalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun