Mohon tunggu...
DANA NURIL IBAD
DANA NURIL IBAD Mohon Tunggu... Penulis - Suka Menulis

Manusia itu punya 4 jenis sifat yaitu : Api, Angin, Air, Tanah. Tinggal kita mau tingkatkan yang mana dari keempat sifat itu. Semua pilihan dan setiap orang punya pilihan masing-masing. Hargai saja pilihannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup dengan 4 Aspek Menurut Orang Jawa

31 Agustus 2021   10:41 Diperbarui: 11 November 2022   09:56 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika dilihat dari sejarahnya, jauh sebelum agama Islam datang, masyarakat jawa sudah mengenal budi pekerti dan sopan santun. Bahkan juga mengenal agama lewat keyakinan-kepercayaan mereka zaman dulu, misalnya kejawen atau kapitayan yang umumnya diikuti masyarakat jawa. 

Mengutip dari bukunya mendiang Agus Sunyoto "Atlas Walisongo" mengatakan bahwa ajaran kapitayan yang dijalani, memberikan dampak besar mulai dari perkataan, pemikiran hingga tingkah laku orang jawa.

Mengutip dari bukunya dr. Abdullah Ciptoprawiro yang berjudul "Filsafat Jawa" mengatakan bahwa zaman kerajaan hindu yang berkuasa dijawa, terlepas dari model kepemimpinan atau strategi perangnya, ternyata menampakkan orang-orang bijak dalam hal ini disebut "Filsuf Jawa" dimana mereka memiliki kecerdasan intelektual juga diimbangi kesadaran spiritual yang mampu memberikan dampak kepada sesama salah satunya lewat karya. 

Beberapa diantaranya:

  • Mpu (Pujangga) Kanwa. Hidup pada masa kerajaan Airlangga. Karya : Arjunawiwaha (The Nuptails of arjuna)

  • Mpu Tantular. Hidup pada masa Raja Agung Hayam Wuruk kerajaan Majapahit. Karya : Sutasoma

  • Yasadipura I (1729-1801). Karya : Dewa Ruci, Ramayana, Baratayuda, Mintaraga

  • Paku Buwana IV. Hidup dalam masa kebangkitan sastra jawa kuno. Karya : Wulangreh (Ethics)

  • Ranggawarsita (1802-1873). Cucu dari Yasadipura II dan Cicit dari Yasadipura I. Karya : Serad Wirid Hidayat Jati, 

  • Paramayoga, Pustaka Raja Purwa, Kalatidha, Saloka Pari Basa.

  • Mangku Negara IV (1809-1881). Salah satu Raja Surakarta. Hidup sezaman Ranggawarsita dan hubungan mereka akrab. Karya : Wedhatama dan Tripama.

Berangkat dari beberapa orang-orang hebat ini, mulailah kelihatan orang-orang bijak jawa (dikemudian hari) lalu memberikan pesan atau petuah yang mana hingga kini pun masih di gunakan sebagai landasan hidup khususnya orang jawa. Jika membahas tentang karakter orang jawa, bisa dilihat dari beberapa aspek, diantaranya :

  1. Aspek kesabaran 

Jawa diakui sebagai masyarakat yang berpenampilan sederhana, budi pekerti baik, sabar dan lemah lembut. Gaya bahasa pun dinilai sangat santun jika saat berbicara satu sama lain. Seperti pepatah jawa kuno mengatakan dengan istilah "Cakra Manggilinan" yang artinya adalah kehidupan itu seperti roda yang terus berputah. 

Tidak hanya berada diposisi atas, tapi setelah bergerak pun sangat memungkinkan berada dibawah. "gak miber nalika dipuji, gak tibo nalika di maki" (tidak akan merasa tinggi ketika diberi pujian, dan tidak akan jatuh ketika diberikan caci-maki).

Masyarakat jawa juga mempercayai adanya hasil yang tidak akan jauh dari usaha serta proses menuju itu. Proses merupakan step yang mau tidak mau harus dilalui untuk menuju harapan. Sedangkan hasil adalah ranah Illahi sedangkan tugas kita hanya menerima yang telah diberikan. 

Seperti pepatah "Gliyak-gliyak Tumindak, sareh pakoleh" yang artinya tak masalah jika usahanya dilakukan secara perlahan, yang penting tujuannya tercapai. Kesabaran mencapai tujuan/harapan memang perlu dibina dan dikontrol dengan baik. Persis sesuai dengan Al-Qur'an yang berbunyi "sesungguhnya Allah bersama dengan orang sabar".

Sabar dan tekun itu dua keping yang saling berdampingan. Biasanya orang yang sabar efek sampingnya menjadi tekun. Sabar menghadapi tekanan kerja, sabar jika dagangannya belum laku, sabar menghadapi bos yang tidak sesuai, bahkan sabar dalam bisnis yang mungkin lagi down. 

Orang sabar itu kemungkinan menjadi orang yang lapang dada itu ada. Kalau dalam jawa, orang sabar itu ya nerimo, ikhlas, gak neko-neko. Beberapa orang sukses juga melalui proses yang tidak sebentar, jika saja mereka tidak punya sifat sabar/tekun mungkin yaa akan gagal.

      2. Aspek Budi Pekerti 

Bahasa menjadi salah satu wujud dari budi pekerti orang jawa karena lewat struktur dan pembagian bahasa yang begitu kompleks menimbulkan makna bahwa dalam berbicara dan bertutur kata pun harus dibedakan berdasarkan lawan bicara. 

Sebagai contoh jika lawan bicara adalah orang yang umurnya tidak jauh dari kita maka bahasa yang dipakai adalah bahasa ngoko, jika umur lawan bicaranya diatas kita disarankan menggunakan bahasa krama/krama inggil.

Bisa dibilang, masyarakat jawa juga memiliki keluhuran dalam bersikap baik kepada kerabat maupun orang yang baru kenal. "the power of monggo" adalah istilah yang cukup populer akhir-akhir ini yang dipakai untuk memperkenalkan bahasa jawa dimasyarakat luas. Kata "permisi" dalam bahasa Indonesia yang sejauh ini maknanya hampir sama dengan kata monggo, amit, nuwunsewu, dan lainnya.

Budaya Jawa khususnya umumnya juga masyarakat Indonesia yang memiliki nilai tinggi adalah "gak enakan". Berasal dari ungkapan yang mengekspresikan tidak enak hati ketika kita tidak melakukan sesuatu kepada orang lain karena takut menyinggung perasaannya. 

Dalam bahasa jawa biasa dikenal dengan istilah "pakewuh" yang versi saya bermakna keadaan bingung/ragu dalam menentukan sikap terhadap orang lain yang mana kita takut menyinggung perasaan orang lain karena sikap kita.

Masyarakat jawa (termasuk ajaran Islam) percaya bahwa Budi Pekerti adalah goals atau tujuan dari semua hal yang kita cari, tanam, pupuk nantinya diharapkan bisa berbuah Budi Pekerti yang luhur dan berguna bagi lintas unsur. Mulai dari unsur agama, suku, budaya hingga masyarakat luas. 

Semua perlakuan, binaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga pun harapan terakhirnya adalah menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Sesuai dengan pepatah "dadio bener masio gak pinter" (jadilah orang yang benar/jujur meskipun tidak pintar). Artinya pintar bukan jaminan orang tersebut baik kepada orang lain bahkan dengan kecerdasannya bisa jadi malah mencelakakan orang lain.

      3. Aspek Spiritual 

Adat dan budaya yang disuguhkan masyarakat jawa sangat kompleks mulai dari seni, bahasa, folklore atau cerita rakyat, hingga pembahasan spiritual. Dalam bukunya Agus Sunyoto "Atlas Walisongo" menerangkan bahwa agama purbakala yang dianut oleh penghuni lama pulau jawa adalah "agama angin muson" atau biasa disebut kapitayan. 

Keyakinan para penganut kapitayan dijawa, meyakini bahwa leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur kapitayan adalah tokoh mitologis Dangyang Semar putra Sangyang Wungkuham keturuan Sangyang Ismaya.

Kapitayan juga dikenal sebagai ajaran yang memuja sembahan yaitu Sangyang Taya (Suwung). Artinya Tuhan tidak bisa dibayangkan dan difikir karena tidak akan pernah sampai kepada-Nya lewat fikiran dan bayangan kita. Suwung, awang-awang, hampa atau kosong. 

Dalam kejawen dijelaskan juga bahwa Tuhan itu "Tan Kena Kinira, Tan Kena Kinaya Ngapa, adoh tanpa wangenan, cedak tanpa senggolan" (Tuhan tidak dapat diduga-duga dan dikira-kira, tidak pula dapat diumpamakan seperti apapun. Dikatakan jauh tetapi tidak ada jarak, dikatakan dekat tetapi tidak bersentuhan).

Dalam rangka upaya agar dapat dikenal dan disembah manusia, Sangyang Taya digambarkan mempribadi didalam nama dan sifat Ilahiah yang kemudian disebut Tu atau To yang bermakna "daya ghaib" adikodrati. Tu lazim disebut dengan "Sangyang Tunggal" dan memiliki dua sifat, yaitu kebaikan dan ketidak-baikan.

Karena Sangyang Tunggal bersifat ghaib, maka dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindra dan fikiran manusia. Kekuatan ghaib dari Sangyang Taya mempribadi yang kemudian disebut Tu atau To, itu 'tersembunyi' didalam segala sesuatu nama berkaitan dengan Tu atau To seperti ; wa-Tu (batu), Tu-gu, Tu-k (mata air), Tu-ban (air terjun), Tu-mbak (lembing), Tu-lup (sumpit), Tu-tud (hati), To-peng, To-pong (mahkota), dan Tu/To yang lainnya.

 Pada pelaksanaan pemujaan dan baktinya kepada Sangyang Tunggal, para penganut kapitayan menyedian sajen berupa Tu-mpeng, Tu-mpi (kue dari tepung), Tu-mbu (keranjang bambu yang dianyam untuk tempat bunga), Tu-ak (arak), Tu-kung (ayam) yang kemudian dipersembahkan kepada Sangyang Tunggal lewat segala sesuatu yang berkait dengan Tu/To seperti wa-Tu (batu), To-ya (air) dan sebagainya.  

      4. Aspek Perhitungan (Weton, Primbon)

Bicara perhitungan, dalam akademisi dan sekolah biasa dikenal dengan matematika yang merupakan dasar dari ilmu perhitungan lainnya. Jika dulu saat sekolah merasa terbebani dengan ribetnya pelajaran matematika, faktanya pada saat terjun kedalam aktivitas masyarakat sedikit atau banyak akan menggunakan matematika. Bangun rumah, manajemen uang, dan sebagainya.

Etnomatematika adalah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan-perhitungan kemudian diaplikasikan terhadap budaya yang tengah berlangsung dimasyarakat. Istilah ini digunakan para cendikiawan atau peneliti tentang adanya perhitungan jawa. Jika matematika mempelajari tentang bagaimana menata, menghitung, dan menganalisa angka, sedangkan etno sendiri adalah suku, kelompok atau budaya tertentu.

Dalam budaya khususnya budaya jawa, para leluhur kuno dalam mengamati dan memperhatikan aktivitas alam ternyata mempunyai perhitungan sendiri yang kemudian ada kalender Saka (jawa asli dan hindu) yang menjadi salah satu hasil perhitungan orang jawa. 

Kalender Saka ini disinyalir lebih tua dari pada kalender masehi yang dipakai saat ini. Artinya, ketajaman berfikir dan pengamatan orang zaman dulu sedalam itu sehingga beberapa produk perhitungnnya masih dipakai sebagian orang jawa hingga saat ini.

Produk-produk perhitungan yang lain begitu kompleks dan menyelimuti hampir seluruh kehidupan orang jawa. Mulai dari perkawinan dan jodoh, keberuntungan, hari baik, pertanian, hingga membangun rumah ditata dan diatur didalamnya. Konon, buku/kitab tentang perhitungan jawa ini ada beberapa jenis varian yang jumlahnya sekitar 7.

Dari perhitungan-perhitungan tersebut, tidak semua orang jawa menggunakan apalagi zaman sekarang era teknologi dan digital. Bagi orang tua sekarang yang (dulu waktu kecil) juga dihidangkan budaya jawa pun tidak semua menggunakan di era sekarang, ada yang tetap memakai karena patuh dengan budaya ada juga yang meninggalkan.

Terlepas dari percaya atau tidak, untuk saat ini adalah sesuatu yang sifatnya hak setiap orang dalam perhitungan jawa ini. Karena pada dasarnya sistem perhitungan ini adalah bentuk kreativitas berfikir orang kuno yang ternyata masih berlaku sampai era sekarang. Kalaupun ada kejadian kemudian dikaitkan dengan weton/primbon maka bagi saya adalah hasil perhitungan yang tidak jauh berbeda dengan kejadiannya. Bukan sesuatu yang bersifat percaya ramalan atau sebagainya.

Jika dibenturkan dengan agama, budaya adalah sesuatu yang sebenarnya berjalan beriringan dengannya, dalam hal ini Islam contohnya. Karena jika dilihat sejarah, masuknya Islam ke Nusantara khususnya Jawa sangat elastis dan fleksibel. Mereka para pembawa agama tidak serta-merta menghapus kegiatan/aktivitas orang jawa, tapi membungkus kegiatan itu dengan unsur agama.

Ketika ada kelompok yang suka mengkafir-kafirkan orang yang mempercayai perhitungan jawa, saya kira sikap tersebut berlebihan jika diterapkan pada masyarakat kita di Indonesia yang beragam jenis agama, budaya, ras, dan suku. Lagi pula jauh sebelum ada kelompok tersebut, budaya ini telah ada dan berlangsung di jawa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun