Harga ayam yang terjun bebas diperparah dengan daya beli masyarakat yang rendah, iklim usaha yang lesu, terbatasnya pergerakan manusia dan sirkulasi uang yang tidak merata.
Dan realitanya berbagai jenis usaha mengalami keterpurukan di masa pandemik global seperti ini. Kecuali mereka yang tega mengeruk untung dari sebuah bencana dan ancaman kemanusiaan, tapi apakah cara-cara itu mulia dan beradab?
"Ayam potong lima belas ribu saja, yuk! Bantu peternak agar tak terlalu merugi, mangga diorder," tulis saya dalam status Whatsapp (14/4).
Gayung bersambut, salah seorang di daftar kontak dan tinggal di Cianjur membalas seketika dan menyampaikan keinginannya untuk membeli sekira X-kilogram ayam.
"Andai saya dekat saya ingin membelinya untuk dibagikan di sini, tapi karena saya jauh, nanti dibagikan di sekitar kampungmu saja," anjurnya.
Saya meng-iya-kan, dalam hati ada rasa gak karuan, bukan lantaran menyanggupinya akan menjadi sebuah pekerjaan tambahan, namun karena aura keikhlasan dan niatnya ingin membantu sesama meski dari jarak jauh, sementara kondisi rata-rata orang dalam keadaan yang serba sulit.
Ternyata tidak, hari ini pun kami melakukan hal yang sama. Saya tak menyangka akan mendapat respon seperti ini setelah kegiatan kami berbagi daging ayam diposting lewat akun sosial media sebagai bentuk laporan dan pertanggungjawaban dari kegiatan ini.