Mohon tunggu...
Damurrosysyi Mujahidain
Damurrosysyi Mujahidain Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Ilmu Komunikasi UMJ

Ramah Manusia, Alam, dan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Modernisasi Standar Hidup Petani Hutan: Taraf Ekonomi hingga Gaya Komunikasi

12 Juli 2022   14:25 Diperbarui: 12 Juli 2022   14:28 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images (2010)

Pergeseran zaman yang menyebabkan kemajuan tidak mengecualikan pergeseran nilai luhur sebagai dampaknya. Kemajuan teknologi sebagai tanda signifikansi perkembangan ilmu pengetahuan tak mengenal istilah penunggu di dalam pohom besar ataupun hewan-hewan. Tak juga memahami cerita ruh halus penunggu kampung atau sang Dewi Sri penunggu padi.

Banyak pamali yang diwariskan diharapkan menjadi pagar kehati-hatian tindak tanduk gerak manusia, kini hanya sekadar bahan obrolan dikala senggang. Bahkan menjadi lelucon yang dianggap menarik saking irrasionalnya.

Maraknya demistifikasi yang terjadi tanpa disadari memiliki dampak yang cukup serius. Mulai dari skala yang mungkin dianggap remeh, hingga persoalan berskala nasional. Kesakralan cerita "daerah larangan" di sekitaran lereng Gunung Anjasmoro menjadi salah satu korban keganasan paradigma rasionalitas yang kian hari makin berkembang.

Ketakutan masyarakat akan sosok "penjaga" daerah larangan lereng Gunung Anjasmoro yang memudar, berdampak pada banyak kerusakan yang terjadi. Penebangan pohon-pohon besar di kawasan "Peh Lumbon" yang berfungsi sebagai pagar air kian menjadi.

Peh Lumbon ialah punden tempat pemakaman tokoh "babat alas" desa. Terletak di lereng Gunung Anjasmoro dan dikelilingi pohon besar di kanan kirinya. Namun sekarang, keberadaan banyak pohon besarnya telah habis dimakan nafsu manusia modern.

Berbagai daerah larangan yang selalu dijaga banyak beralih fungsi menjadi areal perkebunan atau kegiatan produktif lainnya. Pemimpin adat sudah tak lagi berwibawa dengan ke-kharismatikannya, melainkan sisi materialis yang kini mengambil porsi utama. Nilai sakral yang selalu dijaga ditiap generasi bergeser menjadi nilai komersil dan ekonomis.  

Zaman semakin berkembang. Smartphone, motor, mobil, fashion, mode, hingga trend terbaru kini tak sungkan lagi masuk hingga ke pelosok desa terpencil. Sudah tak ada lagi batasan antara perangkat kemajuan zaman dengan masyarakat desa yang dikenal minim pengetahuan tentang teknologi terkini yang terkenal duniawi.

Pengetahuan rupanya hanya perkara waktu. Tak butuh bertahun-tahun hingga akhirnya masyarakat desa termasuk kawasan lereng Gunung Anjasmoro ikut terwarnai perkembangan zaman dengan segala hiruk pikuk persaingan status sosial dan ekonomi sebagai konsekuensinya.

Mulai dari masyarakat desa di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, mulai menggeser gaya hidup kearah yang lebih maju. Termasuk bagaimana gaya komunikasi yang kini semakin efisien secara waktu dan jarak.

Penyebaran informasi melalui dunia maya-pun turut memenuhi beban pikiran petani hutan yang dulu hanya memikirkan hutan dan keluarganya, namun kini secara tak sadar ikut membaur dalam hangatnya kasus selingkuh dari pejabat hingga artis kondang papan atas di ibu kota.

Pengetahuan baru akan dunia luar mempengaruhi interaksi sosial yang terjadi disekitarnya. Persaingan status sosial antara masyarakat petani hutan semakin seru terjadi karena parameter kesuksesan bisa dengan mudah dilihat, dibayangkan, pun juga digapai --dengan cara apapun--.

Kemajuan ilmu pengetahuan serta demistifikasi yang terjadi bak pasangan romantis yang enggan untuk berpisah dan saling melengkapi. Pandangan rasional empiris yang menyebar dikalangan petani hutan selain menghilangkan nilai sakral yang ketat dijaga, disisi lain mengamini perilaku tidak ramah terhadap kelestarian alam hutan.

Sekarang hutan nampak indah bila dipandang sebagai komoditi yang banyak dicari. Fakta tersebut dapat menambah puing-puing rezeki yang selama ini memang banyak diincar untuk meningkatkan aset kekayaan sedikit demi sedikit.

Banyaknya tumbuh pabrik kayu, pabrik kertas, pabrik minyak kelapa sawit, semakin meningkatkan gairah petani hutan untuk terus menggali potensi keuntungan yang ada ditengah-tengah hutan. Kini terlihat banyak petani hutan bukan lagi berumah kayu namun dipenuhi dengan beton permanen. Sudah tak lazim terdapat smartphone terbaru serta motor atau mobil yang terparkir.

Senada dengan yang diungkapkan Kotler (2012) pada bukunya Prinsip-Prinsip Pemasaran bahwa, "gaya hidup ialah pola hidup manusia di dunia yang biasa diekspresikan dalam minat, aktivitas, dan opininya. Juga menggambarkan keseluruhan diri seseorang kala berinteraksi dengan lingkungannya".

Takaran ekonomi memang sudah menggeser stigma-stigma ketertinggalan yang dilekatkan pada petani hutan. Pusaran fakta bahwa kini banyak petani hutan tak lagi banyak makan singkong atau ketela, melainkan daging, susu, hingga makanan siap saji sebagai makanan pokoknya cukup menggambarkan kondisi perubahan yang terjadi.

Perjalanan "dinas" ke hutan kini tak lagi menggunakan sepeda ontel atau gerobak sapi, melainkan armada transportasi yang mewakili kesuksesan petani hutan seperti motor atau mobil.

Terlanjurnya petani hutan mewarnai dirinya pada life style yang modern dan mewah, seiring sejalan dengan tuntutan pekerjaan yang harus mereka selesaikan juga. Stok pohon yang sah untuk ditebang makin hari kian menipis tak sejalan dengan permintaan yang makin meningkat.

Jalan alternatif yang dapat digunakan ialah menebang pohon yang masuk dalam kawasan perlindungan. Alias tidak sah atau ilegal. Tak heran, aturan leluhur yang lama melekat pun tak dihiraukan, apalagi sekedar hukum positif negara yang memang mudah untuk dinegosiasi.

Jika dilihat dari range harga kayu dipasaran yang tinggi, tak heran jika sampai kegiatan melanggar hukum juga dijalankan. Biasa dijual dengan harga Rp. 1.200,- per m3 atau Rp. 360.000,- hingga Rp. 750.000,- perpohonnya.

Begitu juga data yang dilansir media detik.com (Hen/Zul:2014), bahwa PT Harfarm Jaya Makmur menawarkan sebuah kerjasama hutan jati dengan rentang harga dalam 8 tahun hingga Rp 12 juta atau Rp 15 juta perpohonnya. Benar-benar profesi yang bergitu menggiurkan petani hutan. Pekerjaan ini dianggap strategi adaptif petani hutan yang berupa reactor strategy.

Reactor strategy menurut Miles dan Snow (1978) ialah cara merespon lingkungan tanpa memikirkan strategi jangka panjang. Tuntutan gaya hidup membawa pelaku ekonomi pada orientasi jangka pendek dan bersifat reaktif. Pemahaman singkat petani hutan tidak melahirkan kekhawatiran di masa depan ditambah lagi keuntungan yang dapat digapai dengan waktu yang relatif singkat.

Kekayaan alam hadir memang untuk kesejahteraan masyarakat. Namun sinergi antar masyarakat sendiri dan pemerintah pun diperlukan, guna kelestarian alam yang akan membawa kebermanfaatan untuk seluruh generasi kedepannya yang beruntung lahir dan besar di Indonesia.

Struktur hukum berikut penegasannya di lapangan juga dirasa penting untuk garansi akan terjaminnya sumber daya alam yang rawan disalah-gunakan. Tentu dengan komitmen tinggi akan bersihnya dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kerap menghantui para penegak hukum. Tak terkecuali para polisi hutan.

Kembali lagi pada masyarakat, pemerintah, ataupun infrastruktur yang memadai akan terus menjamin keberlangsungan alam negeri yang kaya akan manfaat. Selain daripada ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang diwariskan, kenikmatan alam Indonesia juga layak dirasakan oleh generasi impian penerus bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun