Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi kaum buruh dan kelas pekerja Indonesia yang kerap turun ke jalan menuntut keadilan ekonomi, ada satu ironi besar yang jarang dibicarakan secara terang-terangan: banyak dari mereka justru menjadi korban ideologi yang mereka warisi dan reproduksi sendiri. Mereka bukan hanya miskin secara ekonomi, tapi juga kekurangan prinsip sekularisme, tersesat dalam materialisme sempit, dan mudah tersulut oleh isu-isu minor yang tak ada hubungannya dengan perjuangan kelas sejati.
Warisan Propaganda Anti-Komunis
Tidak bisa dimungkiri, kebanyakan warga kelas pekerja Indonesia tumbuh dalam atmosfer politik pasca-1965 yang anti-komunis, anti-kiri, dan penuh ketakutan terhadap segala sesuatu yang berbau kolektifisme. Rezim Orde Baru Soeharto menanamkan dalam-dalam ide bahwa komunisme adalah musuh agama, moralitas, dan bahkan kemanusiaan itu sendiri. Akibatnya, gagasan tentang keadilan sosial, sekularisme progresif, dan solidaritas lintas identitas dianggap tabu atau bahkan berbahaya.
Seperti yang dicatat sejarawan John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2006), pembantaian dan demonisasi PKI di tahun 1965-66 menciptakan generasi-generasi yang alergi terhadap ide-ide pembebasan struktural. Bahkan hingga hari ini, istilah "komunis" masih digunakan sebagai senjata retoris untuk mendiskreditkan aktivis sosial, feminis, atau siapa pun yang menentang status quo kapitalisme oligarkis yang bercokol.
Materialisme Tanpa Kesadaran Kelas
Yang lebih menyedihkan, banyak dari para buruh justru terjebak dalam logika kompetisi individualistik ala kapitalisme neoliberal. Alih-alih membangun solidaritas dan agenda kolektif, mereka sibuk saling menjatuhkan demi "naik kelas sosial." Cita-cita mereka bukan membangun sistem yang lebih adil, tapi menjadi "bos" sendiri. Mereka lebih tertarik pada narasi sukses ala motivator TikTok: kerja keras, beli rumah, punya mobil, dan posting liburan ke Bali.
Logika ini mematikan kesadaran kelas. Mereka marah saat upahnya kecil, tapi tetap mendukung struktur ekonomi yang menindas mereka---karena diam-diam, mereka masih berharap bisa jadi penindas berikutnya. Inilah bentuk paling subtil dari hegemoni ideologis yang disebut Antonio Gramsci.
Ketiadaan Sekularisme dan Melemahnya Rasionalitas Publik
Kelas pekerja yang tercerabut dari sekularisme cenderung melihat dunia dalam kacamata hitam-putih moral agama. Banyak dari mereka menolak kebijakan yang berbasis hak asasi manusia, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas sekuler. Lihat saja bagaimana isu LGBT (si "berak lancar") atau kebebasan beragama (seperti aksi penggerebekan gereja) justru lebih sering digunakan sebagai kambing hitam oleh sebagian besar massa buruh. Mereka tak sadar sedang dimanipulasi untuk membenci kelompok minoritas yang bahkan tidak punya kuasa dalam struktur ekonomi-politik nasional.
Contohnya, ketika aksi buruh bersatu untuk menolak UU Cipta Kerja, tak jarang orasinya diselipi dengan ujaran kebencian terhadap "moral barat," "kaum menyimpang," atau bahkan "feminis sekuler." Ini membuktikan bahwa banyak buruh kita masih mudah terdistraksi oleh isu-isu kultural yang sengaja digoreng untuk melemahkan potensi revolusioner mereka.
Budaya Marah-Marah Tanpa Tujuan
Akhirnya, semua ini bermuara pada budaya marah-marah yang tidak terarah: marah karena harga naik, marah karena upah kecil, marah karena orang lain "terlalu bebas," tapi tidak pernah marah kepada struktur. Ini mirip dengan desa fiksi Konoha dalam serial Naruto, tempat orang-orang menderita tapi tetap mencintai sistem yang menindas mereka. Mereka buang air pun susah, cari makan susah, tapi tetap menyalahkan minoritas dan bukan sistem ekonomi-politik yang rusak.
Maka istilah "Konoha" bisa menjadi metafora sosial: masyarakat yang hidup dalam kemiskinan terstruktur tapi sibuk menjaga moralitas palsu, mudah dimanipulasi, dan selalu mencurigai yang berbeda. Ironis, karena sesungguhnya mereka sedang melanggengkan kondisi yang mereka keluhkan sendiri.
Penutup
Indonesia tak akan berubah hanya dengan demonstrasi sporadis atau tuntutan kenaikan upah tahunan. Tanpa reorientasi ideologis menuju sekularisme progresif, rasionalitas publik, dan solidaritas kelas lintas identitas, gerakan buruh hanya akan jadi ritual venting emosional belaka. Waktunya kita bertanya: ingin benar-benar merdeka, atau tetap tinggal di "Konoha"? Apakah mereka sudi untuk terus berak susah, rezeki susah dan bermarah - marah tanpa ujung?