Menolak Feodalisme : Kami Tidak Butuh Restu, Kami Hanya Butuh Ruang Untuk Merdeka Dan Berdaulat!
Oleh:Damar Setyaji Pamungkas (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi)
Organisasi mahasiswa bukan tempat pelarian dari realitas, bukan pula panggung kecil bagi orang-orang haus pengakuan. Ia adalah ruang perjuangan tempat di mana ide, keberanian, dan moralitas diuji oleh keadaan. Karena itu, organisasi mahasiswa harus merdeka, berdaulat, mandiri, dan independen. Tanpa itu, ia tak lebih dari sekadar boneka yang digerakkan oleh tangan-tangan kekuasaan, senioritas yang usang, dan komentar-komentar kosong dari orang-orang yang tak pernah mau memahami makna perjuangan.
Kemerdekaan organisasi mahasiswa bukan hanya soal bebas menggelar kegiatan tanpa izin kampus, tetapi keberanian untuk berpikir dan bersuara tanpa dikendalikan termasuk oleh bayang-bayang senior dan demisioner yang merasa masih berhak menentukan arah perjuangan. Merdeka berarti berani berbeda, bahkan jika perbedaan itu harus dibayar dengan tekanan, stigma, atau ancaman.
Namun, sering kali kemerdekaan itu dirampas bukan oleh penguasa, melainkan oleh para senior yang merasa paling tahu segalanya. Mereka memposisikan diri sebagai "penjaga warisan perjuangan," tapi lupa bahwa setiap generasi punya hak untuk menentukan jalannya sendiri. Nasehat berubah menjadi intervensi, bimbingan menjadi dominasi, dan solidaritas berubah menjadi pengawasan. Padahal, organisasi mahasiswa bukan lembaga warisan turun-temurun yang harus dijaga dengan doktrin kaku. Kedaulatan sejati hanya lahir ketika generasi baru dipercaya untuk berpikir, bereksperimen, dan bahkan berbuat salah demi menemukan arah perjuangannya sendiri.
Selama ini, terlalu banyak organisasi gerakan yang kehilangan arah perjuangan karena terjebak dalam pola pikir feodal: senior dianggap raja, junior dianggap bawahan. Petuah berubah jadi perintah, bimbingan menjadi tekanan, dan warisan perjuangan dijadikan alat kontrol. Fenomena ini juga menghantui banyak organisasi progresif, termasuk LMID (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Di balik jargon ideologis, ternyata masih bersembunyi praktik lama yang mengekang ruang hidup generasi baru.
Generasi baru LMID (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) tidak boleh lagi menjadi budak dalam rumahnya sendiri. Kedaulatan organisasi harus dikembalikan kepada anggota aktif, bukan kepada figur masa lalu yang menjadikan "pengalaman" sebagai legitimasi untuk mendikte arah perjuangan. Setiap generasi memiliki konteks dan tantangannya sendiri; dan dengan itu, mereka berhak menafsirkan, memperluas, bahkan menggugat cara-cara lama yang tidak relevan dengan kondisi hari ini.
LMID (Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) tidak boleh menjadi museum perjuangan yang hanya hidup dari romantisme masa lalu. Ia harus menjadi ruang dinamis di mana gagasan, analisis, dan aksi sosial-politik berkembang tanpa batasan hierarki. Organisasi yang feodal tidak akan pernah bisa melahirkan kader yang kritis dan berdaulat, karena kesetiaan buta pada senior hanya melahirkan kepatuhan bukan kesadaran.Karena demokrasi sejati tidak lahir dari kompromi, melainkan dari keberanian untuk melawan dominasi.
Kritik terhadap senior bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan panggilan untuk membersihkan rumah gerakan dari sisa-sisa feodalisme yang membusuk. Kritik terhadap kekuasaan bukanlah sikap benci, tetapi komitmen untuk menegakkan keadilan sosial. Keduanya adalah bagian dari tanggung jawab moral LMID sebagai pelopor gerakan mahasiswa yang hidup dan tumbuh bersama rakyat, bukan di atasnya.
Kedaulatan LMID generasi baru adalah soal prinsip: bahwa organisasi ini harus menjadi milik kolektif, bukan milik figur. Bahwa keputusan harus diambil berdasarkan musyawarah, bukan titah. Bahwa garis perjuangan harus dirumuskan oleh mereka yang masih menanggung beban sejarah hari ini, bukan oleh mereka yang sudah terjebak dalam kenyamanan nostalgia.