Mohon tunggu...
Damar Juniarto
Damar Juniarto Mohon Tunggu... Penulis - Changemakers Rest of the World 100 Global Tech 2022 • Anugerah Dewan Pers 2021 • Trust Conference Changemakers 2021 • IVLP 2018 Cyber Policy and Free Expression Online • YNW Netizen Marketeers Award 2018

Damar Juniarto adalah aktivis hak asasi manusia yang dikenal dengan karyanya tentang hak digital dan kebebasan berekspresi online di Asia Tenggara. Sejak 2013, ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif SAFEnet. Dia juga menjabat sebagai Penasihat di DigitalReach, sebuah organisasi regional yang menyelidiki dampak teknologi terhadap hak asasi manusia di Asia Tenggara. Damar telah menerima penghargaan atas karyanya, termasuk pengakuan sebagai salah satu Changemakers Rest of The World pada tahun 2022 dan Anugerah Dewan Pers di 2021 karena mempromosikan kebebasan pers di Indonesia. linktr.ee/damarjuniarto

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melawan Balik Otoritarianisme Digital

21 Desember 2022   09:01 Diperbarui: 22 Desember 2022   08:00 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS/JITET)

Meskipun Indonesia bukan dipimpin lagi oleh figur yang bertangan besi seperti rezim Orde Baru di bawah Soeharto, namun bayang-bayang kekuatan otoriter itu masih kuat mencengkeram di kepala banyak orang. Membayangkan kembalinya dwifungsi militer, kontrol informasi yang ketat, penyeragaman di banyak dimensi demi melanggengkan kekuasaan yang korup, kolutif dan nepotis, menjadi momok tersendiri yang ikut bisa dirasakan saat ini, sekalipun Soeharto sudah ditumbangkan lebih dari 20 tahun lalu pada 1998.

Pada tahun pemilihan umum, narasi anti Orde Baru hadir mengingat Prabowo, salah satu calon presiden, dekat dengan lingkar keluarga Soeharto. Sementara calon presiden lain yang kini terpilih kedua kali menjadi presiden, Joko Widodo, menarasikan dirinya sebagai orang yang sudah tidak punya beban. Namun kalangan aktivis mengkritisi siapapun yang memenangkan pemilihan umum, hampir dapat dipastikan, didukung oleh kekuatan oligarki yang masih berkelindan dengan Orde Baru. Ini yang melatari gerakan #sayagolput menjelang pemilihan umum 2019 di Indonesia.

Pemilihan umum 2019 dimenangkan kembali dengan selisih tipis oleh Joko Widodo. Masyarakat yang telah terbelah karena polarisasi dukungan, sempat mengentalkan sentimen negatif dengan melakukan gerakan untuk menolak hasil pemilihan umum dalam bentuk demonstrasi di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta. Demonstrasi ini kemudian menjadi tidak terkendali dan berujung dengan pengendalian keras dari aparat keamanan. Suasana memanas yang bermula dari penolakan hasil pemilu, menjadi letupan-letupan kekerasan antara pendukung Prabowo dengan polisi.

Untuk pertama kalinya di Indonesia, terjadi pelambatan internet (bandwith throttling) pada 23-25 Mei 2019. Alasan yang digunakan oleh pemerintah saat itu, seperti yang disampaikan dalam siaran pers Kemkominfo, adalah mencegah beredarnya hoaks terkait kerusuhan. Tentu saja peristiwa ini mengejutkan, mengingat bandwith throttling adalah salah satu bentuk opresi teknologi yang dikecam oleh banyak pihak, termasuk oleh PBB karena melanggar hukum internasional terkait hak akses informasi. 

Kritik yang disampaikan oleh organisasi masyarakat sipil, termasuk oleh SAFEnet, tidak diperhatikan pemerintah terkait tidak adanya due process of law dan transparansi tindakan. Bahkan pelambatan internet ini dilakukan kembali pada bulan Agustus 2019, dan dilanjutkan dengan pemadaman internet (internet shutdown) sampai bulan September 2019 di Papua dan Papua Barat. Dalam banyak kesempatan, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa apa yang mereka lakukan dipuji oleh banyak negara karena dianggap mampu menyeimbangkan antara kemerdekaan berekspresi dan keamanan nasional.

Usai pemilihan umum 2019, pemerintah Joko Widodo didukung oleh oligarki dan melakukan konsolidasi dengan lawan politiknya dengan memberi porsi jabatan Menteri dan jabatan strategis lainnya. Pemerintah Indonesia memfokuskan diri pada investasi dan peningkatan Sumber Daya Manusia/SDM, seperti yang disampaikan dalam pidato kepresidenan, dan tidak menyinggung sama sekali tentang perbaikan hak asasi manusia. 

Untuk mendukung keperluan investasi tersebut, presiden mengerahkan segala upaya termasuk aparat keamanan dan intelejen untuk memuluskan jalan, terutama melancarkan upayanya melakukan pengesahan Omnibus Law. 

Selain itu, pemerintah juga mengusulkan revisi UU KPK, yang salah satu poin meminta agar ada Dewan Pengawas KPK yang mengawasi kinerja lembaga anti-rasuah tersebut. Kedua kebijakan ini dinilai kritis oleh organisasi masyarakat sipil dan akademisi sebagai upaya melemahkan kekuatan melawan korupsi dan oligarki. Karenanya terjadi demonstrasi besar-besaran terkait penolakan revisi UU KPK dan juga Omnibus Law di banyak kota.

Demonstrasi yang mayoritas dilakukan oleh mahasiswa, akademisi, dan aktivis ini dihadapi dengan aksi kekerasan di sejumlah kota. Tercatat ratusan korban luka-luka akibat benturan dengan aparat, bahkan juga ada korban meninggal dunia. Kekerasan fisik dengan terjadi semakin diperparah dengan laporan kekerasan digital yang dialami oleh mahasiswa, akademisi dan aktivis.

Selain itu, dengan memanasnya konflik di Papua akibat tindakan rasial kepada mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, kekerasan fisik dan kekerasan digital juga terjadi pada mereka yang mengadvokasi isu Papua, dilanjut dengan peristiwa pelambatan internet bandwith throttling) dan pemadaman internet (internet shutdown).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun