Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Banyak Mengelola Dinamika di NU

12 Februari 2023   00:06 Diperbarui: 12 Februari 2023   00:17 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kreasi dan ide warga NU dalam mengekpresikan lambang NU. (foto dok pribadi alisa wahid)

Dari Nahdlatul Ulama (NU), saya belajar banyak soal dinamika. Banyak dinamika, dan hampir setiap momen selalu diwarnai dengan dinamika. 

Bahkan, 1 Abad NU yang puncaknya dihelat 7 Februari 2023 lalu pun penuh dengan dinamika. Tak NU namanya, kalau bermusyawarah tidak heboh. 

Namun, heboh sebagai dinamika itu sejuk ketika secara tiba-tiba sekelompok datang membacakan shalawat badar. 

Itulah NU yang saya rasakan dan nikmati dengan segala perjuangan dan pengabdian. 

Pertama kali dalam agenda NU secara nasional yang saya ikuti, adalah Muktamar NU ke-31 di Solo, Jawa Tengah tahun 2004. 

Saya satu dari ratusan orang tentunya dalam forum itu sebagai peserta peninjau. Muktamar cukup panjang, tiap pagi ada banyak koran dan majalah serta bahan bacaan gratis yang disediakan panitia. 

Baik koran nasional, seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, dan koran lainnya, maupun koran daerah yang terbit di Jawa Tengah. 

Saya kala itu sudah seorang jurnalis, bekerja di Mingguan Media Nusantara, terbitan Padang. 

Selesai muktamar itu, ada banyak buku dan koran yang saya angkut dari Solo ke kampung. 

Yang paling saya simak adalah cerita dan berita dinamika muktamar yang disajikan media setiap harinya. 

Dinamika dalam forum bahsul masail, maupun dinamika pleno pemilihan Ketua Umum PBNU. 

Begitu juga zig-zag KH Hasyim Muzadi ketika ikut menjadi Capres menjelang muktamar itu. 

Terasa sekali begitu tinggi dinamika, namun, Presiden SBY tetap hadir membuka muktamar, meskipun "berlawanan" dalam Pilpres dengan KH Hasyim Muzadi. 

Soal dinamika dan perbedaan pandangan serta pendapat dalam sebuah forum, tentu tak menjadi asing bagi kalangan NU. 

Sebab, mayoritas pengurus dan warga itu orang yang besar dan lahir dari pesantren. Sudah terbiasa larut dalam pergumulan perbedaan pendapat. 

Makanya, dalam soal fiqh, NU berpegang pada salah satu dari mazhab yang empat. Artinya, warga NU ada dan boleh beda mazhab dalam soal amaliah. 

Ketegangan dalam memutuskan sebuah persoalan, selalu berakhir dengan sejuk dan damai. Itulah kharisma seorang yang diambil sebagai Rais A'am dalam organisasi ini. 

Terakhir, sebelum Wapres Jusuf Kalla menutup muktamar itu, pidato Rais A'am KH MA Sahal Mahfudz sungguh menggugah semua peserta muktamar yang hendak pulang, karena sudah sekian hari di Solo. 

Dalam suasana muktamar itu pula terjadi musibah tergelincirnya sebuah pesawat, yang banyak mengangkut penumpang yang akan ikut muktamar. 

Salah satunya, Prof Maidir Harun dari PWNU Sumbar. Beliau mengalami kecelakaan bersama penumpang lainnya, saat muktamar sudah berlangsung beberapa hari. 

Pulang dari Solo, kami berempat dari Padang Pariaman yang sama berangkat ke Solo dari Jakarta, harus berpisah pulangnya. 

Mendiang Amiruddin Tuanku Bagindo pergi ke tempat anak ke Surabaya. Sementara Ali Nurdin M. Nur juga pergi ke tempat familinya di Bekasi. 

Dr. Rahmat Tuanku Sulaiman memilih pulang naik pesawat dari Semarang. Saya ikut rombongan Sumbar, yang naik bus dari Asrama Haji Donohudan menuju Jakarta. 

Berangkat sore, pagi sampai di Kramat Raya, kami turun di PBNU. Ada beberapa hari lagi saya di Jakarta, lalu pulang lewat jalur darat dengan bus ANS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun