Setelah dirundingkan tentang sirih yang disodorkan pihak pengantin perempuan, baru dijawab oleh kapalo mudo rundingan yang datang tadi.
Masak sirih rupanya tiga perkara. Pertama masak di batang, kedua masak dalam perundingan, dan ketiga masak di makan.
"Kok terpilih salah satu dari yang tiga itu, bagaimana," jawab kapalo mudo yang menanti tersebut.
Lalu, kapalo mudo yang datang meneruskan rundingannya, "Bagi kami tak bercari jalan nan berliku. Yang penting sirih kami masak," jawabnya.
Lanjutannya, di pecahlah satu persatu masak sirih. Masak di batang, adalah sirih yang sudah lama tak dipetik, sehingga masak sendiri.
Kemudian masak di makan, adalah sirih yang lazim dimakan orang. Kaganti rokok sebatang bagi laki-laki, sirih sekapur bagi perempuan.
Dan terakhir masak dalam perundingan. Artinya, tidak dimakan, tapi masak dalam rundingan saja.
Selesai duduk perkara soal sirih dengan segala pernak-pernik dan dinamika rundingan kedua belah pihak, baru dilanjutkan dengan bab berikutnya.
Zahirnya sirih yang dibawa, batihnya adalah anak kemenakan perempuan yang bernama ini, minta dijodohkan dengan anak kemanakan kapalo mudo yang di sini.
Begitu pula, melihat tingkah laku anak perempuan itu, para niniak mamak punya keahlian tersendiri pula untuk mengetahuinya dari cerminan kampir sirih tersebut.
Warisan budaya demikian, menjadi media sosial yang paling kuat di tengah masyarakat, terutama di rantau Piaman.