Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pantaskah Gubernur DKI Bertolak Pinggang di Samping Presiden?

28 Februari 2018   12:18 Diperbarui: 28 Februari 2018   12:29 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Kementerian Sekretariat Negara

Ada foto Anies Baswedan gubernur DKI Jakarta sedang terlibat pembicaraan dengan Presiden Jokowi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Foto ini diunggah Kementerian Sekretariat Negara lewat akun resmi di twitter sore kemarin. 

Ada empat foto yang diunggah dengan disertai kalimat "Presiden Yakin Sarana dan Prasarana Asian Games 2018 Akan Selesai Tepat Waktu". Sebuah foto aktivitas presiden yang biasa sebenarnya, sebagai kepala negara untuk mengecek lansung kesiapan sebagai tuan rumah pesta olahraga terbesar se-Asia itu.

Namun, foto itu ternyata    mengundang kecaman warganet karena bahasa tubuh Anies Baswedan gubernur DKI Jakarta itu dinilai tidak etis, angkuh, dan sombong. Dari empat foto yang diunggah Kemensetneg, ada dua foto yang memperlihatkan Anies sedang berkacak pinggang di samping presiden. Satu foto diambil dari belakang dan satunya lagi dari samping dan cukup dekat memperlihatkan tangan anies di pinggang.

Foto Kementerian Sekretariat Negara
Foto Kementerian Sekretariat Negara
Ada yang menilai sikap Anies itu tidak pantas. Sebagai gubernur DKI yang berseragam dan menemani presiden dalam acara resmi semacam itu, seharusnya Anies bersikap sopan sebagaimana kepantasan seorang pejabat negara. Dia tidak perlu menunduk-menunduk, menyembah, seperti abdi. Tetapi bersikap sopan tidak berkacak pinggang yang seolah tidak menghargai presiden dan merasa lebih super.

Kalau anda orang Jawa atau orang Indonesia pada umumnya, berkacak pinggang di hadapan tamu atau orang yang lebih tua itu dianggap tidak sopan. Kalau kepada teman dekat atau sahabat karib di luar pergaulan resmi, masih bisa dianggap biasa. Tetapi, dalam pergaulan resmi, sikap itu jelas tidak patut bahkan bisa dinilai meremehkan atau merendahkan kawan atau lawan bicaranya.

Anies adalah orang Jogja, pernah pakai blangkon, pernah jadi guru dan pernah pula jadi menteri pendidikan. Jadi, soal tata krama dan bahasa tubuh semacam ini seharusnya sudah tahu dan paham luar kepala. Mustahil dia tidak memahami hal ini. Terkecuali, bawaan pribadinya memang seperti itu sehingga secara reflek tubuhnya mengeluarkan bahasa tubuh yang demikian.

Jika memang seperti itu, yaitugawane jabang bayekalias sudah perangainya, maka dia harus legowo untuk bersekolah kepribadian lagi sehingga dalam pergaulan resmi tidak mengeluarkan bahasa tubuh yang bisa menyakiti perasaan orang banyak. Saya sarankan dia belajar ke Mien Uno ibu Sandiaga Uno wakil gubernurnya itu. Mien Uno itu paten dalam urusan sekolah kepribadian yang bisa membimbing dia denggan cepat dan sukses.

Saya mencoba memahami bahasa tubuh Anies itu dari kacamata pergaulan internasional. Dulu dia kan lama belajar di Amerika Serikat, jadi mungkin bahasa tubuh semacam itu wajar dalam pergaulan resmi di sana. Saya mencoba gogling untuk cari foto pejabat bule semacam presiden AS, tapi kok belum menemukan, yang ketemu malah foto lucu Gibran saat menemui AHY di Istana.

Foto bisnis indonesia.com
Foto bisnis indonesia.com
Saya mencoba bertanya ke Mbah Google soal etiket berkacak pinggang ini, ternyata memang orang bule itu memandang hal itu biasa saja. Tetapi dalam pergaulan internasional mereka tetap mempertimbangkan adat dan budaya serta bahasa tubuh kawan bicaranya. Jadi mereka tentu tidak mau dianggap bersikap kurang ajar terhadap koleganya dari negara lain hanya karena ketidaktahuan mereka.

Nah, hal ini menjadi jelas bagi kita atau seorang Anies Baswedan, betapa penting bahasa tubuh bagi pergaulan resmi. Terlebih lagi pergaulan resmi antarsesama orang Indonesia, antara gubernur dan seorang presiden. Mengabaikan tatakrama bahasa tubuh jelas bukan hanya sebuah kebodohan tetapi bisa dimaknai lebih buruk lagi.

Kita tentu masih ingat peristiwa 15 Januari 1998, saat Presiden Soeharto menandatangani perjanjian bantuan pinjaman dana dari IMF. Sebuah bantuan yang menjerat dan merusak perekonomian kita yang dengan susah payah dibangun.

Momen itu diabadikan dalam sebuah foto yang memperlihatkan Presiden Soeharto menandatangani perjanjian, sementara boss besar IMF Michael Camdessus menyaksikannya sambil bersedekap tangan di dada dengan angkuhnya. Sebuah foto yang mengundang kemarahan dari banyak pihak, termasuk dari lawan politik Presiden Soeharto.

Foto merdeka.com
Foto merdeka.com
Bahasa tubuh sejak dahulu kala dipandang penting oleh bangsa-bangsa. Untuk menjalin hubungan dan persahabatan dengan bahasa lain, sudah lazim dilakukan antara lain dengan mempelajari adat istiadat, budaya, dan tentunya bahasa tubuh. Anda tidak perlu heran melihat orang Jepang membungkuk di depan anda misalnya, karena sudah tahu itu bahasa tubuh mereka untuk menghormati orang lain.

Dengan dasar pemikiran semacam itu, saya bisa memahami kecaman warganet terhadap Anies Baswedan yang berkacak pinggang di samping presiden. Seharusnya sebagai orang Indonesia, terlebih pribumi yang pernah memakai blangkon, dia paham benar itu sikap yang tidak patut.

Alasan adanya rivalitas antara dirinya dengan seorang Jokowi atau perasaan sakit hati karena diberhentikan dari jabatan menteri pendidikan, tidak bisa jadi alasan pembenar. Bagaimana pun dia saat ini adalah seorang gubernur. Dalam ketatanegaraan kita, jabatan gubernur itu di bawah jabatan presiden. Sudah seharus seorang gubernur tidak bersikap seperti bos di hadapan presiden.

Karena ini tahun politik, sikap Anies Baswedan itu bisa dinilai sengaja untuk pencitraan bahwa dia dan presiden itu tidak ada relasi atasan dan bawahan. Ini tentu bisa mengundang simpati dan dukungan dari lawan politik Jokowi dan kelompok yang selama ini memusuhi dan bahkan memfitnah macam-macam.

Sah-sah saja dia terus bermanuver dan bersikap menarik simpati massa pendukungnya. Namun persoalan etika pergaulan resmi janganlah diabaikan. Memang politik itu seringkali kotor, dan mengabaikan tatakrama dan kemanusiaan. Misalnya, dulu ada larangan menyolati jenazah pendukung Ahok. Tetapi, itu jelas sangat buruk dan karenanya janganlah menambah keburukan dengan mengabaikan tatakrama bahasa tubuh dalam pergaulan resmi.

Urusan Anies ingin jadi presiden, boleh saja itu hak setiap warga negara. Kalau dia ingin berpasangan dengan  Riziek atau Ahok atau Fadli Zon juga tidak ada yang melarang. Hanya saja, dia juga harus sadar bahwa sekarang ini dia menjabat gubernur DKI Jakarta bukan gubernur Indonesia yang tak ada dalam struktur jabatan di ketatanegaraan kita. Jadi bersikaplah sebagai gubernur yang baik, santun, taat hukum, dan tahu tatakrama.

Akhirnya, tidak ada gading yang tak retak,  manusia memang tempatnya salah. Tetapi, manusia adalah makhluq yang bisa belajar. Untuk urusan etiket dan bahasa tubuh, Sandiaga Uno tahu tempat yang pas untuk belajar.

Salam salaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun