Mohon tunggu...
mohammad mustain
mohammad mustain Mohon Tunggu... penulis bebas -

Memotret dan menulis itu panggilan hati. Kalau tak ada panggilan, ya melihat dan membaca saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Tak Berkemaluan

3 Februari 2018   13:06 Diperbarui: 3 Februari 2018   13:10 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto diambil dari edurisi.com

Mari bicara demokrasi tak berkemaluan tanpa perasaan parno di hati. Kemaluan menurut saya tidak selalu berkonotasi seks. Yang urusan seks itu berkaitan dengan alat kelamin baik kelamin manusia atau binatang. Karena menurut manusia itu alat kelamin adalah bagian tubuh yang paling bisa menimbulkan rasa malu, maka munculah kata kemaluan yang mewakili bagian tubuh itu. Apakah binatang juga punya rasa malu sehingga berhak menyandang kata kemaluan binatang, terus terang saya tidak tahu.

Kata kemaluan juga menegaskan fitrah manusia Indonesia punya rasa malu. Ketika kata ini diucapkan, maka di dalamnya ada kesadaran akan rasa malu dalam diri manusia yang secara fisik terwakili oleh alat kelamin. Dari sinilah muncul upaya menutupi bagian ini dengan pakaian dan sejenisnya. Apakah kini terjadi pergeseran makna sehingga bagian tubuh ini tidak perlu ditutupi lagi? Untuk ukuran manusia Indonesia rasanya kok belum ada pergeseran makna itu. Kita bukan penganut nudisme, kan? 

Tulisan ini tak hendak membahas soal alat kelamin tetapi rasa malu yang terkandung dalam makna kata kemaluan. Mungkin ada yang mempertanyakan apakah kata ini cukup relevan untuk disandingkan dengan kata demokrasi, seperti judul artikel ini Demokrasi Tak Berkemaluan. Senyampang tak terkait makna alat kelamin, karena demokrasi tak punya alat kelamin, pemakaian kata ini cukup relevan.

Demokrasi tak berkemaluan secara ringkas bisa dimaknai demokrasi yang tak punya instrumen atau subsistem atau perilaku pengontrol yang mencerminkan pentingnya rasa malu. Secara teori hampir tak ada demokrasi yang tak berkemaluan karena negara yang menerapkannya tetap punya nilai etika yang di dalamnya terkandung rasa malu sebagai acuan perilaku dalam berdemokrasi. Hanya saja ukuran rasa malu dan sanksi atas pelanggaran nilai itu, berbeda-beda. 

Meski demikian demokrasi yang menyuratkan adanya kekuasaan rakyat dan sistem yang merepresentasikan kekuasaan ini, tetap jadi acuan perilaku itu. Di beberapa negara, seorang pemimpin yang merasa tidak bisa menjalankan amanat atau menyalahgunakan amanat itu dengan sukarela akan mundur bahkan ada yang membunuh dirinya. Ini menunjukkan ada kesadaran akan nilai etika itu.

Skandal terkait alat kelamin atau seks juga bisa memaksa seorang pemimpin untuk mundur atau lengser. Demikian juga dalam persoalan korupsi dan pencurian uang negara, hampir ada kesamaan sanksi yaitu dipidana dan dilengserkan dari jabatan. 

Kasus terbaru, seorang pemimpin di Inggris merasa begitu malu dan akhirnya memilih mundur hanya karena terlambat satu menit dalam rapat. Adalah Menteri Negara untuk Departemen Pembangunan Internasional Inggris, Michael Bates, yang memutuskan melepas jabatannya setelah ia datang terlambat dalam sebuah sesi debat parlemen, Rabu (31/1/2018). Ia mengaku malu berat. Baginya, terlambat adalah aib besar dalam hidupnya.[1]

Pengunduran dirinya memang akhirnya ditolak oleh PM Inggris Theresa May, tetapi kejadian menunjukkan adanya standar rasa malu yang tinggi dan berbeda dari kasus yang sebelumnya ada. Beberapa kejadian pengunduran diri pejabat di beberapa negara juga terjadi atas dasar dorongan rasa malu dan tanggung jawab setelah mengemban amanat kekuasaan rakyat.

Di dalam sistem demokrasi itu sendiri umumnya ada instrumen atau subsistem yang menangani urusan etika ini. Ada kode etik dan ada organisasi yang bertugas menegakkannya. Jadi, dilihat dari sudut ini, demokrasi itu sudah punya kemaluan. Hanya saja derajat dan model kemaluannya yang berbeda-beda. Kemaluan demokrasi Indonesia tentu berbeda dengan negara lain dalam beberapa hal. 

Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim selama ini cukup dikenal sebagai bangsa yang santun, bertenggang rasa, berbudaya halus, dan punya rasa malu. Rasa malu ini tentu terkait erat dengan nilai yang dianut masyarakatnya. Contoh paling gampang ya urusan malu terkait alat kelamin tadi. Mungkin karena itulah budaya nudis yang kini dianut sebagaian masyarakat di Barat sono, tak berlaku di sini.

Tetapi apakah itu berarti masyarakat kita menjunjung tinggi rasa malu dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam berdemokrasi? Pertanyaan ini cukup relevan diajukan melihat situasi Indonesia dewasa ini. Dan ternyata memang ada perbedaan yang mencolok antara rasa malu terkait urusan alat kelamin itu dengan rasa malu terkait persoalan lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun