Kasus jual beli jabatan seperti di Klaten itu hanya salah satunya. Kata orang, karena apes saja Bupati Klaten Sri Hartini tertangkap KPK. Ada yang menyebut kasus serupa juga terjadi di banyak daerah tetapi tak tersentuh hukum. Padahal di daerah juga ada kepolisian atau kejaksaan. Masa, semua harus KPK yang turun tangan.
Saat Sri Hartini melakukan mutasi pejabat di Klaten, daerah lain di Indonesia juga melakukan hal serupa selama Desember lalu atau Januari ini. Ada mutasi 999 pejabat, adas 777 pejabat, ada 5.046 pejabat, ada yang 1.137 pejabat, dan seterusnya. Seandainya, kasus serupa Klaten juga terjadi, bisa hitung berapa uang yang beredar di bisnis mutasi jabatan ini.
Hasil penelitian Komisi Aparatur Sipil Negara terhadap maraknya kasus jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah (tempo.co, 6/1/2017), menunjukkan 90 persen dari 29.113 jabatan diperkirakan telah dilelang di pasar kerja. Harga lelang jabatan itu bervariasi. Pada kasus Bupati Klaten Sri Hartini, KASN menemukan daftar harga jabatan yang dilelang:
Eselon II (tergantung SKPD) = Rp 80 juta - Rp 400 juta; eselon III = Rp 30 juta - Rp 80 juta; eselon IV = Rp 10 juta - Rp 15 juta
Di Lingkungan Dinas Pendidikan Klaten: eselon II (kepala dinas) = Rp 400 juta; eselon III (sekretaris dan kepala bidang) = Rp 100 juta - Rp 150 juta; eselon IV (Kasubbag &Kasie) = Rp 25 juta; kepala UPTD = Rp 50 juta - Rp 100 juta; TU UPTD = Rp 25 juta.
Kepala SD = Rp 75 juta - Rp 125 juta; TU Sekolah Dasar = Rp 30 juta; kepala SMP = Rp 80 juta - Rp 150 juta; jabatan fungsional tertentu (guru mutasi dalam kabupaten) = Rp 15 juta - Rp 60 juta.
TU Puskesmas = Rp 5 juta - Rp 15 juta; jabatan tetap (tidak mutasi) = Rp 10 juta - Rp 50 juta.Â
Temuan Komisi Apatatur Sipil Negara ini mengukuhkan pendapat masyarakat, bahwa praktek semacam itu sudah lazim terjadi. Temuan kasus Sri Hartini bupati Klaten itu bisa dianggap satu noktah yang tampak ke permukaan. Dan bagi bagi KPK sendiri itu adalah OTT pertama yang berhasil terkait perkara jual beli jabatan. Artinya, bisa saja segera muncul OTT lanjutan karena KPK meyakini hal seperti itu juga sangat mungkin terjadi di tempat lain.
Itulah salah satu wajah kepemimpinan di daerah, yang sangat dekat dan lekat dengan urusan penguasaan ekonomi dan penumpukan harta kekayaan. Ini tentu tidak lepas dari proses pemilihannya, yang sarat politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan. ICW mencatat sedikitnya 350 kepala daerah terjerat kasus korupsi sejak 2004 lalu.
Membayangkan kepemimpinan di daerah yang bersih, tidak terpolusi urusan semacam itu, sah-sah saja. Tetapi, kepemimpinan semacam itu bisa dibilang tak banyak. Mungkin, kalau kepala daerah dipilih secara demokratis, tanpa bayar dan membayar, masyarakat juga sudah sadar perlunya pemimpin yang bersih dan adil, tidak berasal dari kalangan korup, wajah pemimpin idaman semacam itu makin banyak.
Dengan realitas kepemimpinan daerah semacam itulah kita memandang keberadaan dinasti politik yang berkuasa di daerah-daerah. Mereka yang menjabat secara wajar saja (satu atau dua kali masa jabatan) bisa berperilaku seperti itu, dekat dengan urusan penguasaan ekonomi dan menumpuk harta. Terlebih lagi yang berhasil membentuk sebuah dinasti penguasa secara berkesinambungan.